Grem berjalan ke barisan paling belakang. Ia membawa Ben.
Sementara Ben hanya diam saja. Ia mungkin hanya pasrah.
Namun, lain halnya dengan Rendy, sahabat Ben itu memprotes keras karena temannya yang mungkin dituduh sebagai pembunuh. Ia berjalan melawatiku dan sekarang ia di depanku. Di mana itu posisi yang paling dekat dengan Grem.
"Ada apa?" tanya Zara.
"Kau menyalahkan Ben, kan? Asal kau tahu, dia tidak bersalah! Aku tahu siapa yang sebenarnya pembunuh." Rendy menatap Grem yang berada di dekat Ben.
Kini aku percaya, percaya mereka akan saling tuduh.
"Kalau begitu, siapa menurutmu?" Zara bertanya, penasaran.
Aku juga penasaran siapa yang akan dituduh oleh Rendy.
"Dia! Si keparat ini!" Rendy menunjuk muka Grem, tetapi Grem tak tinggal diam, kepalan tangannya langsung bersarang ke muka Rendy.
Rendy memegangi mukanya, kesakitan. Aku maju ke depan, Reth memegangi lenganku sembari menggelengkan kepala, "tak apa ...," ucapku.
"Kau juga mau menuduhku, hah!?"
"Aku tidak menuduh siapapun, aku hanya ingin bertanya, bolehkan?" Aku punya pertanyaan penting di sini.
Sangat penting, semoga mereka mau mendengarkan.
Zara mengerut, lalu bertanya seperti tadi, "Pertanyaan, apa itu?"
"Kalian punya bukti jika Ben bersalah?" Ah, pasti mereka tidak punya. Aku yakin dengan hal ini.
Grem terdiam, sementara yang lain saling tatap, mereka terlihat tak bisa menjawab.
Rendy tertawa dengan puas, "Ya! Apa buktinya!?"
"Kami memang belum punya bukti, tetapi kami punya saksi." Grem memanggil seorang penjaga, "Kau! Cepat jelaskan!"
Seorang lelaki berjalan ke depan mendekati Grem. Seorang yang kukenal, Vard. Ia yang memukuliku waktu itu, tanpa ampun. Jujur masih ada dendam dalam otakku, kutatap terus dengan tajam tepat di bola mata hitamnya, ia juga melihatku.
"Kenapa? Pe-cun-dang ...."
Ia memancing emosiku, kepalan tanganku semakin mengeras, tanpa sadar, tinjuanku melesat begitu saja tepat mengenai hidungnya. Ia memegangi hidungnya dan mau membalas, tapi Grem menghentikannya.
"Cukup! cepat jelaskan yang kau lihat, Vard!" seru Zara.
Ya, cepat jelaskan siapa yang akan kau tuduh, Vard.
Vard membuang ludah, "Aku melihatnya! dan dia--" Vard menunjukku, "Si muka pucat ini! Dengan anak yang bernama Rendy ini yang membantunya. Aku melihatnya tepat tengah malam dengan mataku!"
Aku tak habis pikir dengan apa yang dikatakannya, dia menuduh kami bertiga. Bahkan Rendy sangat terlihat marah, kepalan tangannya sudah sangat kencang, tetapi para penjaga menghalanginya.
Dari awal semuanya sudah tidak beres. Aku dituduh orang besar tadi, kukira ia akan menunjuk si Ben, tapi malah sebaliknya.
"Kau gila! kaulah yang pecundang! kau pecudang!" Teriak Rendy, ia terus melemparkan kata-kata kotor, membuat penjaga harus memeganginya karena berontak.
Pandanganku teralihkan sebentar ke Nob, ia hanya diam. Begitu juga Grem. Sebenarnya, aku berharap lebih ke Nob, entah mengapa ia hanya memandang dingin.
"Kau percaya apa yang dikatakannya?" tanyaku ke Grem. Aku yakin Grem masih mempunya pemikiran yang waras.
Grem menggelengkan kepala dan entah kenapa langsung mengunus pedangnya, menancapkannya pada perut Vard. Orang-orang berteriak histeris, aku hanya terdiam, hanya ada pertanyaan kenapa?
Kenapa harus membunuhnya, padahal cukup kau katakan bahwa aku tidak bersalah. Atau mungkin kau lebih tahu soal ini, bahwa perkataan saja tidaklah cukup.
"Dia berbohong, dia pantas mendapatkannya!" seru Grem sembari mencabut pedangnya. Sementara darah mengalir dari perut Vard, ia kesakitan.
Bagaimanapun, pedang itu sampai tembus ke belakang tubuh Vard.
"Aku melihat si muka pucat dan Rendy tadi malam! mereka tak melakukan apapun!" Lanjut Grem, memandangku sembari menganggukkan kepala.
Lihatlah, ada kebaikan dalam diri Grem. Dia masih mempunyai rasa kemanusiaan.
"Jadi? Siapa pembunuhnya?" tanya Zara, ia sangat tenang melihat kejadian saat Grem membunuh Vard, seolah ia sudah terbiasa.
Seolah hal tadi hanya kejadian biasa. Padahal sudah terjadi pembunuhan yang menakutkan bagi sebagian orang.
Rendy, lagi dan lagi menuduh Grem, "Kalian lihatkan tadi, dia tadi membunuh, sialah pembunuhnya!"
Aku mencoba menenangkan Rendy, tetapi ia masih saja menuduh. Mempertahankan ucapannya.
Grem juga terpancing, ia mengayunkan pedangnya, tapi aku mencegahnya, "Hei tenang, kalau kau membunuh Rendy.a Aku juga akan percaya bahwa kaulah pembunuhnya, begitu juga yang lain." bisikku.
"Penjarakan ketiga orang ini!"
Aku kenal suara yang berteriak itu.
Suara yang mengheningkan suasana. Semua mata tertuju pada asal suara, itu Nob. Ia mengatakan itu, kata yang tidak pernah terbesit dalam otakku.
Jadi, di sini siapa yang jahat sebenarnya?21
"Apa maksudmu, hah!?" teriak Grem, ia berniat membunuh lagi kali ini, tapi seperti biasa, Nob dilindungi oleh para penjaga. Ia terus menatapnya. Sama sepertiku, aku juga sangat tidak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut salah satu orang yang kupercaya dari awal.
Dokter Deri maju ke depan, "Kenapa kau!? Kau menuduh mereka bertiga!?"
Namun, Nob tak mempedulikannya. Ia malah tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya.
Jadi, Nob adakah karakter jahatnya?
"Cepat kurung mereka di penjara!" Nob memerintah para penjaga yang langsung menurutinya, kami bertiga diikat. Grem dan Rendy berontak, tetapi itu tak mengubah keadaan saat ini.
Takkan merubah hal yang sudah terjadi.
Kami berjalan ke arah utara bersama tiga penjaga yang memegangi tangan kami, mengitari empat gedung ini. Perjalanan yang memuakkan, kami akan dipenjara.
Saat belum jauh, sesekali kutengok ke belakang. Nob terlihat berbisik ke Zara. Apa yang kau pikirkan? pikirku. Namun, entah kenapa kami tak dihukum mati? Apa ada alasan dari semua ini?
Apa yang kau rencakan, Nob?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK (Wattys Winner 2018)
Fiksi Ilmiah#Pemenang Wattys2018 kategori The Originals **** Kata mereka, para pemimpin tempat ini. Kami telah diselamatkan dari dunia luar, dari virus yang menyerang. Dan katanya kami itu kebal. Namun, kebal dari apa? Mereka tak menjelaskan, tetapi satu hal...