✓ BAB 25 - You?

2.1K 253 5
                                    

Luka yang aneh, kulit orang ini pun lama-kelamaan membiru, tetapi itu wajar terjadi pada mayat.

Saat ini yang kupikirkan adalah cara keluar dari tempat ini, anak panah tadi kugunakan untuk membuka gembok dengan bagian runcing. Namun, mustahil, tidak ada gunanya. Kalaupun pintu jeruji besi ini bisa kubuka, bagaimana aku keluar? Bahkan tak ada celah sama sekali.

Saat aku duduk di pojok, mataku tertuju pada dua mayat itu. Bukan karena bau mereka, tetapi karena lengan mereka bergerak disertai suara erangan sama seperti makhluk aneh. Sial! mereka benar-benar menjadi mayat hidup yang sekarang berdiri membelakangi. Tak mengetahui keberadaanku di sini.

Aku secara pelan berdiri. Satu-satunya cara adalah membunuh mereka dengan panah ini.

Perlahan aku melangkahkan kaki, suara sepelan apapun akan membuatku diburu. Lebih parahnya, aku akan dimakan hidup-hidup.

Satu langkah aman telah berhasil, dan satu langkah lagi, kini aku tepat di belakang mereka, langsung kujambak rambut orang berkumis dengan tangan kiri dan secara cepat tangan kananku yang memegang anak panah langsung kutancapkan dengan kuat di matanya.

Kugunakan makhluk yang telah mati ini untuk melindungi tubuhku, sebagai tameng yang berada di tengah-tengahku dan makhluk bodoh satunya yang mulai ingin menyantapku. Sial! aku terpojok di dinding ini. Dorongannya begitu kuat. Keadaan yang sama sekali tak kuharapkan.

Sialnya lagi, panah yang kutancapkan pada mata makhluk berkumis begitu dalam, aku masih berusaha mencabutnya. Sementara makhluk bodoh terus meraung-raung. Tangannya berusaha meraih badanku, tetapi itu tidak akan sampai. Aku sedikit lega.

Bahkan sesekali ia menggigit makhluk yang telah mati ini. Mungkin ia mengira itu adalah dagingku.

Mereka jelas tak berotak.

Beberapa saat aku berhasil mencabutnya, dan tak kusia-siakan kesempatan ini. Satu tusukan tepat di matanya berhasil membuat makhluk bodoh ini terkapar. Kurasa ia mati, lalu langsung kudorong dua makhluk berkumis bodoh ini sampai tergeletak di lantai.

Napasku terengah-engah dibuatnya dan aku terduduk. Apa maunya orang itu? mau membunuhku secara perlahan?

Suara decitan pintu yang terbuka disertai tepukan tangan membuatku langsung berdiri dan menatap tajam orang yang itu. Yah, orang berambut putih lagi.

"Aku kagum padamu." Kagum katanya, aku malah ingin meludahi wajahnya. Sialan memang.

Aku tak menjawab, lantas masih terus kutatap dia.

"Kau akan kubiarkan hidup jika mau bergabung denganku," ucapnya sembari menghisap rokok. Asapnya ia embuskan ke arahku sambil ada senyum kecil di wajahnya.

Ini sama sekali tidak lucu, "Apa maumu?"

"Kau tahu persis keadaan saat ini, kan?" Ia berjalan mendekati pintu, tepat di sebelah pintu itu ia bersender dengan menghisap rokok itu lagi, "Akan lebih mudah jika mempunyai kelompok untuk bertahan hidup."

"Ya, baiklah." Mungkin aku bisa memanfaatkan keadaan ini, jika ada kesempatan, aku akan pergi mencari teman-temanku.

Satu orang lagi masuk dengan membawa pedangku setelah orang berambut putih ini memberi aba-aba dengan satu tepukan tangan. Ia menaruh pedang ini di lantai dan langsung membuka pintu jeruji besi ini.

"Ambillah, itu punyamu, untuk ransel, nanti akan kuberikan." Kurasa sebelum semua ini terjadi pun dia sudah menjadi perokok berat.

Perlahan aku mengambil pedang itu tanpa mengalihkan pandanganku pada dua orang di depanku. Aku tak boleh lengah jika ingin hidup.

"Ayo keluar dari sini," ucap orang berambut putih.

Hah? Apa yang kudengar itu benar? Dia ingin mengeluarkan aku dari sel ini.

Aku mengikutinya tanpa mengurangi kewaspadaanku. Kami masuk kembali ke ruang tamu dan dua tepukan tangan ia lakukan--dua orang lagi masuk lewat pintu samping. Mereka membawa orang yang telah terikat kaki dan tangannya serta mulut yang dibungkam. Dua orang tadi mendorongnya sembari menyuruh bersujud di depanku.

"Apa yang kalian lakukan!?" seruku sedikit membentak.

Orang berambut putih mendekatiku sembari membuang putung rokok dan menginjaknya, "Lakukan." bisiknya saat berdiri tepat di sampingku.

"Kau gila," ucapku dihadapan muka orang berambut putih. Memang benar, dia sudah gila.

"Lakukan! atau peluru ini akan bersarang di otakmu," ucapnya dan mengacungkan pistol tepat di kepalaku.

Aku sebenarnya tahu apa yang dia maksud. Tapi ini gila! memenggal kepala manusia? Yah, tak ada pilihan di sini, lebih baik aku melakukan apa yang diucapkannya. Kuhunus pedangku dan memegang erat dengan kedua tanganku, berdiri di samping orang yang bersujud tak berdaya ini. Kuacungkan tepat di leher belakangnya. Tak sadar, air keringatku menjadi dingin dan sesekali kutelan ludahku.

Beberapa menit aku hanya terdiam dalam posisi ini, sampai dititik orang berambut putih membentakku, "Langsung kau lakukan atau akan kusiksa orang ini!? Pilih!"

Stu tembakan dilepaskannya, bukan ke tubuhku, melainkan ke kaki orang terikat. Ia sangat kesakitan tetapi berusaha menahannya.

Orang terikat itu menatapku dan menganggukkan kepala, dan saat itu juga kuayunkan pedang ke atas dan sekuat tenaga memotong kepala orang ini. Terpisah dari tubuhnya dan darah memenuhi lantai. Aku sesaat memejamkan mata.

"Bagus," ucap orang berambut putih sembari menepuk pundakku. kuketahui ia bernama Johan, "Kalian bertiga, bersihkan dan buang mayat ini di luar."

"Siap," sahut ketiga orang itu serentak. Satu memasukkan kepala itu ke karung dan satunya mengurus badannya, sisanya lagi membersihkan lantai.

Aku dan Johan duduk di kursi rotan, berhadap-hadapan. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan meletakkannya di meja beserta koreknya, "Silahkan."

"Aku tak merokok," jawabku.

"Oh, baiklah, kau anak yang tak merokok, bagus." Ia mengambil rokoknya lagi, memasukkannya ke dalam saku.

"Buat apa kau melakukan itu?" tanyaku.

Johan menghisap rokoknya, "Tak ada alasan lain, dia memang seharusnya dibunuh saat ini juga." Ia kembali menghisap rokoknya sebelum melanjutkan ucapannya, "Dari mana kau dapatkan pedang itu?"

"Aku mendapatkannya dari teman yang sudah mati."

"Oh, maaf, sepertinya aku salah menduga, aku pernah melihat pedang itu sebelumnya, temanku dulu pernah mengoleksinya, kalau tidak salah namanya hmmm?" ia berpikir sesaat, "Ah, Zara namanya, ya Zara."

Aku sedikit terkejut mendengarnya, Zara. Orang keturunan Australia itu dan memang benar pedang ini diperoleh darinya.

"Kau mengenalnya?" tanyanya, mungkin ia melihat ekspresiku saat terkejut.

Kuanggukkan kepalaku, "Pedang ini dari temanku."

Aku berbohong.

"Oke, kita lupakan soal pedang, sebentar lagi, Ari akan datang, ia membawa makanan untuk kita."

"Ari?" aku kembali dibuatnya bertanya-tanya.

"Kau mengenalnya?" tanya lagi Johan.

"Tidak, aku hanya terkejut mendengarnya, lagi pula nama Ari itukan pasaran."

"Ari Winata, kau kenal?"

***

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang