Aku diam membatu saat satu anak panah melesat ke arahku. Rasa perih dan sakit terasa begitu nyata.
Anak panah itu melesat tepat di samping kepalaku dan terasa seakan merobek telingaku. Saat kusentuh, ada darah yang keluar, aku sempat berpikir, apa Alam mau membunuhku?
Namun, semua pikiran itu aku buang jauh-jauh saat satu makhluk jatuh terkapar di sebelahku, di kepalanya ada anak panah menancap di kepalanya.
Darah yang keluar dari robekan telingaku inipun menetes--bercampur dengan air hujan yang semakin deras.
Saat aku akan mencabut anak panah yang menancap di kepala makhluk ini. Aku mengetahui ada banyak dari makhluk itu--segerombolan berada di belakangku. Aku ingin berlari, bergabung dengan teman-temanku, tapi saat aku berbalik melihat, mereka sudah pergi dari sana, lari meninggalkanku, yang ada hanya segerombolan makhluk itu yang kini mengepungku.
Aku tidak punya pilihan, jalan satu-satunya yang aman adalah arah di mana kami datang. Aku berlari sekuat tenaga, beberapa mengejarku di tengah hujan deras ini.
Perkiraanku, mungkin aku berlari sudah sejauh satu kilo. Aku masuk ke sebuah gang, dan Sial! sampai di ujung gang ini, buntu!
Aku menemukan cara, di samping kiriku, sebuah tembok tidak terlalu tinggi. Satu-satunya jalan keluar. Untungnya sebuah kotak sampah berada di sini, kugunakan sebagai tumpuan agar bisa sampai ke atas.
Makhluk itu masihlah jauh, saat aku masuk ke pagar ini. Aku telah berada di sebuah rumah tak bertingkat, rumah biasa.
Aku segera berbalik badan saat dua makhluk itu ternyata juga mengikutiku. Langsung aku bersiap dengan pedang di genggaman tangan kananku.
Beruntung, makhluk ini tak seperti lainnya. Dua makhluk yang terlihat begitu lemah, dan saat mereka mendekatiku, aku dengan mudahnya menusukkan pedang di keduanya. Aneh, padahal mereka tak bisa memanjat.
Tepukan tangan langsung menyambut, terdengar dari dalam rumah ini dan benar, ada lima orang keluar dari balik pintu.
Sementara langit perlahan menghentikan tangisannya.
"Hebat juga kau," puji salah seorang dari mereka, sembari menghisap sebatang rokok. Aku tidak bisa lari, mereka mempunyai senjata api yang mungkin bisa membunuhku.
"Cepat! taruh di tanah pedang itu!" mereka menodongkan pistolnya.
Bertepatan aku meletakkan pedang di tanah, dua orang langsung maju dan memegangiku, "Bawa masuk!"
Sampai di dalamnya, aku diikat kuat pada sebuah tiang penyangga rumah ini, ruangan dengan pintu di setiap sisi. Satu orang duduk diam sambil menghisap rokoknya dan satu lagi memainkan pedangku dengan bertingkah layaknya samurai. Ia berhenti saat melirikku, lalu mendekatiku, "Dari mana kau dapat benda seperti ini?"
Aku membungkam mulutku. Diam. Sembari terus kutatap tajam mata mereka. Bahkan sesekali mereka mengarahkan pedang ini ke leherku.
"Bagaimana kalau...?" Ia berlagak berpikir dengan tingkah yang dibuat-buat, "Mukamu ku robek?" lanjutnya sembari tertawa terbahak-bahak.
Ia berhenti tertawa, "Heh? kau diam saja dari tadi? kau bisu?" ucap orang yang sedari tadi memainkan pedang, sementara yang satunya hanya diam duduk di kursi. Entah ke mana yang lainnya.
Yang duduk kini ia bangun seperti menyadari sesuatu, "Kenapa dengan telingamu?" tanyanya. Namun, tidak aku jawab semua pertanyaannya, "Kau tertembak?"
"Ini hal kecil, bahkan aku pernah tertusuk pedang," jelasku berbohong. Lucunya mereka terlihat percaya dengan perkataanku.
"Kami melihat kau saat membunuh makhluk itu, kau bisa mengajarkannya pada kami berdua?" mereka memohon.
"Bisa, kalau kalian berdua mau melepaskan ikatanku ini."
Setelah mendengar ucapanku, mereka menjauh dariku dan berdiskusi. Kalau mereka bodoh, pasti mereka melepaskan ikatanku ini dan saat itu aku akan kabur dari sini.
Mereka mendekat lagi, orang yang berkumis berbicara, "Tapi kau harus janji."
"Apa?"
"Jangan kabur, oke?"
"Tak akan."
"Baiklah, kau ajarkan kami berdua, dan setelahnya, kami akan mengikatmu lagi...."
Ternyata memang mereka terlalu bodoh. Ikatan ini perlahan dilepas.
"Tolong kemarikan pedangnya." pintaku.
Mereka sedikit ragu, tetapi aku mencoba merayu, "Kalian mau belajar, kan?"
"Ya, tentu." pedang itu akhirnya mereka berikan, beberapa gerakan aku peragakan. Mereka terperangah, kagum. Saat mereka lengah, langsung kuacungkan pedang ini ke leher orang berkumis.
"Apa yang kau lakukan?" tanya orang berjenggot.
"Diam kau! atau kubunuh temanmu ini."
"Tenang, tolong jauhkan," pinta orang berkumis.
Aku tak berniat membunuh mereka, tetapi akibat gerakan secara tiba-tiba, tak sengaja lehernya tergores sedikit. Orang berkumis kesakitan. Walau sedikit, tetapi tetap saja darahnya keluar banyak.
"Jangan berger--" sebelum aku melanjutkan ucapanku, aku dibuat kaget tak mengerti dengan keadaan saat ini. Dua anak panah melesat dan menancap secara dalam di leher dua orang ini.
Cukup untuk hal aneh ini, aku melangkah keluar, tetapi mereka telah di sana. Beberapa orang berdiri di luar.
"Diam di situ nak," ucap orang berambut putih. Lagi-lagi mereka menodongkan pistol dan menyuruhku menjatuhkan pedang ini. Tentu aku melakukannya demi keselamatan.
Orang berambut putih kembali menyuruh dua orang lagi, membawaku ke dalam dan di sana ada dua orang bodoh yang mati itu sudah tak berada di sana, hanya bekas darah di lantai.
Aku dibawa menuju pintu belakang. Di dalamnya ada sebuah besi yang menyerupai penjara. mendorongku masuk dan mereka keluar setelah mengunci pintu besi ini.
Dua orang bodoh yang mati tadi ternyata ada bersamaku di dalam sini. Panah tadi masih menancap di leher, satu anak panah kucabut, siapa tahu bisa berguna nanti.
Saat itu pula, aku melihat luka lain yang seharusnya tidak ada. Tepat di lengan atas mereka.
####
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK (Wattys Winner 2018)
Science-Fiction#Pemenang Wattys2018 kategori The Originals **** Kata mereka, para pemimpin tempat ini. Kami telah diselamatkan dari dunia luar, dari virus yang menyerang. Dan katanya kami itu kebal. Namun, kebal dari apa? Mereka tak menjelaskan, tetapi satu hal...