✓ BAB 21 - Si Anak SMA

2.2K 265 11
                                    

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Rendy sambil melihat ke luar yang sekarang telah sepi.

"Mengalihkan perhatian, mungkin," jawabku.

Tidak lama kemudian, terdengar suara tembakan lagi, lagi, lagi, dan, diakhiri dengan ledakan yang menggelegar.

Semua suara itu yang cukup jauh dari sini.

"Mereka perang atau apa?" ucap Sophie sembari berdiri, "Aku ingin cepat ganti pakaian." tambahnya.

Kami bergerak keluar dari tempat ini dan langsung berlari menuju toko pakaian yang tadi dibilang Darius, memang dari luar terlihat acak-acakkan, ada pakaian yang tergeletak di lantai dan ada pula yang masih menggantung rapi. Sophie masuk terlebih dulu dan kemudian kami mengikuti.

Sophie terlihat telah mengambil pakaian dan di sampingnya Rendy mengikuti.

"Aku mau ganti pakaian Ren! sampai kapan kau mengikutiku!?" seru Sophie.

"Aku juga mau ganti,aku ikut, ya?" Rendy memohon.

"Sana! di tempat lain! bodoh!" satu tamparan bersarang di muka Rendy. Kemudian Rendy menatapku sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Resha juga tersenyum melihat tingkah laku Rendy.

Sophie segera masuk ke ruang ganti dan Rendy juga masuk ke ruang yang berada di sampingnya.

Aku dan Resha menunggu di depan.

Sesekali pandanganku beralih ke luar sana, menunggu Darius yang dari tadi tak kunjung kembali.

Secara tiba-tiba, aku terkaget karena suara teriakan Sophie.

"Maaf, aku tidak sengaja Soph..
." terdengar suara Rendy.

"Ya sudah! keluar sana!"

Tidak lama, Rendy keluar dengan muka merahnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Ruangan ini cuma terhalang kain, tak sengaja tanganku membukanya, jadi kami saling tatap," ucap Rendy tersenyum.

Sophie keluar dan menatap tajam aku dan Rendy, "Apa yang lucu!? Ayo Resh, sekarang giliranmu." Sophie menarik lengan Resha ke dalam, "Kalian berdua, jangan masuk dulu!"

"Iya...ya." jawab Rendy.

"Kau melihat dia hmmm ...." Aku menggerakkan tanganku, memperagakan sesuatu yang tak bisa kukatakan.

"Tidak, dia sudah berganti pakaian. Dia saja yang terlalu terbawa suasana."

"Oh," aku menjawab singkat. Lagipula, ini hal yang tak terlalu penting.

Tidak begitu lama, mereka berdua keluar dengan Resha yang telah berganti pakaian. Ia menggunakan celana jeans dan baju oblong putih.

Sekarang giliranku, aku berganti pakaian yang setidaknya tidak bau amis, celana yang sama seperti Resha, Jeans dan baju berkancing dengan warna merah. Tak lupa juga sepatu yang kuganti juga.

Saat aku keluar, dan melihat kiri-kanan. Mereka tidak ada, tiga temanku tadi telah menghilang. Namun, sesaat kemudian suara Rendy terdengar memanggil, "Rikaz, cepat sembunyi."

Suara yang berasal dari belakang ruang ganti ini.

"Cepat menunduk," ucap Sophie, pelan.

"Apa?" tanyaku, berbisik juga.

"Lihat." Rendy menunjuk ke arah jalan. Ada sekitar sepuluh makhluk itu berjalan pelan. Aku segera menunduk dan menunggu.

Selain itu, ke mana Darius dan anak tadi? kami sudah mununggu dan bersembunyi di sini.

Sekarang, mungkin sudah satu jam berlalu.

"Kita terlalu lama di sini," ucap Sophie sambil berdiri dan memeriksa amunisi pistolnya.

Apa boleh buat, kami memberanikan diri, berdiri dan akan keluar menghadapi makhluk itu. Berjalan ke pintu secara mengendap-endap agar tak menimbulkan suara yang akan memancing mereka.

Sophie membuka pintu perlahan, dan keluar. Beruntung, tak ada satupun dari mereka yang menghadap ke arah kami. Dan semoga saja tidak ada yang namanya--tidak sengaja menendang botol kaleng yang akan mengancam nyawa kami karena kebodohan. Sesuatu hal yang sering aku tonton, sangat ceroboh.

Kami tidak jadi menembak, karena Darius muncul dari arah kanan jalan ini. Ia berlari bersama anak sekolahan itu.

Darius memegang pedang di tangan kanannya, langsung menghujam empat dari makhluk itu dan sisanya telah dihabisi oleh anak sekolahan itu dengan panahnya.

Anak itu dan Darius menghampiri kami.

"Jangan pakai senjata api, itu cuma akan mengundang lebih banyak dari mereka. Sekalipun pakai pistol, usahakan yang ada peredamnya atau pakai panah dan senjata tajam," ucap Darius panjang lebar.

"Dari mana saja kau? dan siapa dia?" tanya Rendy.

"Perkenalannya nanti saja, kita harus bergegas, sebentar lagi malam," ucap anak itu.

"Ke mana?" tanyaku.

"Tidak jauh, mungkin sekitar satu kilo," ucap anak itu.

"Jalan kaki?" tanya Sophie.

"Tak ada jalan lain, semua jalan penuh dengan mobil, kalaupun pakai kendaraan, kita harus membersihkan semua mobil dan itu butuh waktu."

Benar juga, saat ini waktu bukanlah uang, melainkan, waktu adalah nyawa.

Rendy mendekati Sophie, "Kalau kamu tidak mau jalan kaki, aku bisa menggendongmu."

"Cuma satu kilo, kan? aku masih kuat." Sophie berjalan tanpa menghiraukan Rendy.

"Kalau gak kuat jangan dipaksakan!" Rendy berteriak sambil berlari mengikuti Sophie.

"Lewat sana?" tanyaku memastikan bahwa benar jalan yang dilalui Sophie dan Rendy.

"Ya."

Berbagai macam kendaraan ada di sepanjang jalan, dan udara yang tercemar dengan mayat yang berserakan. Terkadang membuat perut terasa mual seperti akan mengeluarkan isinya.

Aku mual.

Sampai kami berjalan setengah kilometer, di depan sana ada segerombolan makhluk itu, membuat Sophie dan Rendy yang belum terlalu jauh, meraka kembali mendekati kami.

"Siapa yang masih menyimpan teropong?" tanyaku.

Resha memberikan teropong itu, dan saat kugunakan. Bukan gerombolan itu yang membuatku tertarik, melainkan orang yang mereka kejar.

"Apa yang kau lihat?" tanya Darius.

"Mereka berlari ke arah kita, dan di depannya yang mereka kejar seorang perempuan."

"Coba kulihat." Darius merebut teropong dan langsung menggunakannya. "Mustahil kita menyelamatkannya, terlalu banyak."

"Masuk ke bawah kolong mobil," ucap anak sekolahan itu.

"Hah!?" Keluh Sophie.

"Kita tak punya pilihan! cepat!"

Kami segera merangkak ke bawah mobil, satu mobil satu orang.

Makhluk itu semakin mendekat, terlihat kaki-kaki telanjang mereka yang melangkah dengan cepat. Di depannya, suara perempuan itu terdengar meminta tolong. Suara makhluk itupun semakin keras, aku sering melihat orang mati dengan mengenaskan, tapi kali ini berbeda, jika aku bergerak sedikit--akan menimbulkan suara

Suara adalah kematian, lebih tepatnya mengundang kematian.

Kulihat mereka semakin mendekat, dan sial! perempuan itu terjatuh dengan kerasnya tepat di sebelahku. Para makhluk itu berebut ingin menyantapnya. Kaki, tangan, badan, kepala. Semua anggota tubuhnya digigit oleh makhluk itu.

Aku sangat panik kali ini, keringat dingin keluar dan menetes cukup banyak dan sampai beberapa saat perempuan itu melihatku. Tangannya berusaha meraihku. Kugerakkan tubuhku sedikit menjauh.

Air mata perempuan itu keluar, memperlihatkan bahwa ia sangat ketakutan, tapi aku tak bisa berbuat banyak sampai saat ia berbicara.

"To-tolong, a-aku."

#####

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang