BAB 43 - Hypocrisy

2.3K 247 10
                                    

Darius menggebrak ranjang tidur sebelum ia bangkit berdiri, berjalan cepat menuju pintu, aku yang ingin menyusul pun dihentikan oleh Diaz, "Biarkan saja."

Aku kembali duduk, sementara Darius telah menghilang di balik pintu.

"Bagaimana kalau ada penjaga?" kutunjuk pintu itu.

"Tak ada, terlebih lagi, dia Dariuz, kan? kita tak perlu kuatir," ucap Diaz sembari sesekali menyibakkan rambutnya, "Dan lagi, kalian punya teman yang tidak kebal?"

Aku bangkit, berjalan dua langkah dan berbalik badan, bersandar pada dinding kayu, tepat di hadapanku Diaz, "Ya, Alam dan Ari namanya, kami bertemu di luaran sana."

"Malang sekali nasib mereka berdua."

"Malang?" tanyaku heran dengan ucapan Diaz yang dingin, "Katamu mereka akan dibunuh, kan? lalu kenapa, dan apa alasannya?"

Diaz menggelengkan kepala, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang, ia menatapku sebelum berkata, "Tidak terlalu yakin, tetapi seperti itulah kenyataannya, kejadian sebelumnya pun sama seperti hari ini."

Suara pintu terbuka membuat percakapan kami terhenti sejenak, dari sana, Dariuz masuk dengan pelan... berjalan sampai di dekat kami, duduk di ranjang.
Ia menatap Diaz dan juga menatapku selanjutnya, "Benar, mereka menghilang...."

"Kau terlihat santai sekali?" tanyaku pada Diaz.

Diaz menatapku lagi dalam posisi terbaring, lalu ia bangkit dan duduk di ranjang, bersebelahan dengan Dariuz, "Aku berusaha tenang, dalam posisi kita saat ini... lebih baik jangan panik, itu bisa membuat kita terbunuh lebih cepat, sebelum kalian masuk ke sini aku telah berpikir membuat rencana dan hasilnya tetap gagal. Tapi lebih penting lagi aku masihlah hidup ...."

"Berdiam diri tak bertindak, bagiku itu tak ada gunanya, kau bilang Alam dan Ari akan terbunuh, lebih baik aku sendiri yang akan ke sana, membunuh Gio!" Dariuz bangkit lagi, langsung berdiri dan berjalan cepat ke arah pintu.

Kukira, Diaz hanya akan mencegahnya. Tapi ia bertindak lebih dari apa yang kupikirkan.

Diaz dengan kerasnya memukul punggung bagian atas Dariuz, tenaganya kuat sekali--sampai Dariuz pingsan, tergeletak tak berdaya.

Aku terheran, kudekati Diaz dan kupegang pundaknya, ia menengok ke belakang, ke arahku, "Apa?" tanyanya datar.

"Apa kau gila? kau bisa membunuhnya!" ucapku, kulepaskan genggamanku dari pundaknya dan kudekati Dariuz.

"Pukulan seperti itu takkan membunuhnya, justeru jika dia nekat ke sana... itu yang akan membuatnya terbunuh... secara sia-sia."

Aku tak menengok ke arahnya, hanya sibuk memeriksa, syukurlah dia memang hanya pingsan.

"Cepat, baringkan dia di ranjang...." ucap Diaz yang kini di posisi bawah, memegang kaki Dariuz, berniat mengangkatnya.

Kami mengangkatnya dan menidurkannya di ranjang, setelah itu Diaz juga membaringkan tubuhnya di sisi kanan Dariuz, sementara aku masihlah duduk di kirinya.

"Aku harus melakukannya, kalau tidak, ia akan lebih cepat terpilih atau lebih buruknya akan bernasib sama seperti dua temanmu lagi." ucap Diaz yang kulihat sembari memejamkan mata. Tidur.

Sebagai seorang anak yang masih berumur di bawahku bahkan terlampau jauh, ia mempunyai pemikiran dewasa. Diaz selalu  memikirkan apa yang akan ia lakukan sebelum bertindak. Lain halnya Dariuz yang selalu atau terkadang lebih mementingkan emosi, tapi entahlah, aku beruntung mereka punya sifat peduli dengan caranya sendiri.

Sifat Diaz kini berbeda seratus delapan puluh derajat, berbanding terbalik dengannya yang dulu masih dipanggil Nob atau Nobita.

Entah kenapa Diaz kembali terduduk, "Kau tahu kenapa aku masih bertahan di sini?"

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang