Kembali, setelah nama sepuluh orang disebutkan (termasuk kami), semua anak bersorak, bersuka-cita akan hal yang mereka tak ketahui.
Kami hanya berdiam diri di sini, mematung. Tak percaya, apalagi Diaz yang ucapannya ternyata salah.
"Jemput mereka...!" ucap Gio, dan tak lama beberapa penjaga mendatangi kami yang berada di tengah-tengah kerumunan, aku yang sedari tadi terdiam, mematung bingung, tak tahu harud berbuat apa dan seorang penjaga dengan tubuh besar memegang lengan kananku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tengah mengancamku, digenggamnya sebilah pisau kecil seukuran jari telunjuk, aku bisa merasakannya sedikit merobek kulit leher, perih saja yang terasa dan satu kalimat ancaman dibisikkannya," Diam! atau semua anak akan kami habisi! berpura-puralah! senyum!" cengkeramannya begitu kuat di lengan kananku.
Sesaat aku manatap Darius dan Diaz, mereka sama tak berkutiknya sepertiku. Dibawanya kami menuju ke depan, di samping anak lainnya, Edwin dan teman-temannya serta pria botak bernama Jara itu, tapi mereka tak tahu apapun, mereka terlihat tersenyum penuh ketulusan; tak sepertiku, Diaz, Darius serta Sophie dan Resha yang tersenyum penuh dengan paksaan.
Masing-masing orang yang kami ketahui sebagai penjaga-pun berdiri di belakang kami berempat, bukan tak melakukan apapun, tapi sebuah pistol tengah ditodongkan ke badan kami.
Gio kembali berpidato, atau bisa kusebut kebohongan sempurnanya. Tak kudengarkan memang dan aku hanya berpikir, bagaimana, kenapa, apa. Mataku beralih ke Jara si botak yang ternyata juga tengah diancam oleh pistol dan rupanya dugaanku salah, kami... sepuluh orang... yang bernasib sama... terancam akan terbunuh atau hal mengerikan lainnya.
Darius terlihat begitu tegang, sebenarnya aku-pun begitu dan bahkan lebih dari semuanya, keringat dingin mengucur, keluar dari badan yang tak berkutik, sementara kami dipaksa untuk tersenyum dengan sesekali dibisikkan sebuah ancaman di telinga.
Gio masih belum selesai dengan ocehan tak bergunanya, semuanya yang keluar dari mulutnya adalah bebohongan, semua yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan pribadi, semuanya salah! Dunia ini salah! kami tak dilahirkan untuk ini! hidup bukannya begini!
"Kau cepatlah beri sambutan!" lamunanku terpecah, suara dari penjaga di belakangku dan dari semua orang-pun menyadarkanku, aku sempat menengok kanan-kiri. Bingung.
"Beri sambutan...." bisik Resha yang berada di samping kiriku.
Tapi aku belum mengerti sepenuhnya, sampai orang di belakangku membisikkan sesuatu, "Beri kata-kata motivasi, beri mereka yang belum terpilih agar tetap semangat!" ucapnya, "cepat!"
"Ah, ya... te-terima kasih sudah memilihku..." ucapanku berhenti sejenak, memikirkan kata yang tepat untuk kuucapkan, "sekali lagi terima kasih, ada satu hal yang sebenarnya membuatku heran, kenapa kami yang baru masuk harus terpilih lebih dulu? kurasa kami kurang pantas mendapatkan semua keistimewaan ini...."
"Ayolah! ini semua karena kalian beruntung dan... tak ada yang akan protes kan?" Gio langsung menanggapi ucapanku, sesaat semua anak terdiam mendengar ucapanku dan ketiak mendengar apa yang dikatakan Gio; mereka kembali bersorak, bahkan ada yang memberi selamat.
"Kalian beruntung! selamat!"
"Dulu juga pernah ada yang seperti kalian! baru masuk dan langsung dipilih! selamat!"
"Terima saja! hari ini adalah keberuntungan kalian bersepuluh!"
Teriakan selamat yang semakin membuatku terdiam, tadi sebenarnya adalah rencana yang terlintas langsung di pikiranku, namun semua gagal dan inilah yang terjadi. Gio membubarkan semuanya, membawa kami bersepuluh menuju bangunan bertingkat tiga di sisi utara.
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK (Wattys Winner 2018)
Science Fiction#Pemenang Wattys2018 kategori The Originals **** Kata mereka, para pemimpin tempat ini. Kami telah diselamatkan dari dunia luar, dari virus yang menyerang. Dan katanya kami itu kebal. Namun, kebal dari apa? Mereka tak menjelaskan, tetapi satu hal...