Anak ini perlahan menyibakkan rambut yang menutupi mukanya dan saat yang bertepatan ia tersenyum. Senyum yang kukenal.
"Kau?" ucapku dan Darius bersamaan.
Aku seolah tak percaya dengan siapa yang di hadapan kami saat ini, dia?
Nobita, anak yang dipanggil Nob sewaktu di Tallessa, Nobita adalah Diaz. Ia selamat dan kini tengah tersenyum di hadapan kami berdua.
"Apa benar ini kau, Nob?" tanyaku memastikan.
"Ini aku, aku juga tak menyangka akan bertemu kalian lagi," jawab Diaz dan rambutnya kembali menutupi mukanya, "Dan satu lagi, sekarang panggil saja aku Diaz, itu nama asliku."
"Oke, Diaz, kan? bagaimana kau bisa selamat?" tanyaku.
"Setelah belum lama kalian pergi, Gio dan anak buahnya, termasuk Rudi datang memakai helikopter dan menyelamatkanku."
"Mereka menyelamatkanmu?" tanya Darius dengan ekspresi tak percayanya.
"Apa pikiran negatif kami salah?" tanyaku.
"Pikiran negatifmu benar adanya," jawab Diaz, "Kalian tahu kenapa aku dijauhi semua orang?"
"Kau menyeramkan, kau terlihat aneh?" ucapku terus terang dan Diaz langsung menatapku.
"Aku berusaha memberitahu mereka semua dan mereka malah tidak memperdulikanku dan menganggap aku anak aneh," jelas Diaz.
"Beritahukan apa?" tanya Darius.
"Sebelum aku mengatakannya, apa kalian akan percaya?"
"Ingatlah, kami ini adalah temanmu dan aku percaya," ucapku meyakinkan.
"Apa yang kalian pikirkan tentang tempat ini? aneh? janggal? mencurigakan?" ucap Diaz, "Itu semua benar! kau tahu kenapa mereka membawa kita semua ke sini? itu semua karena dari awal kita adalah bahan uji coba, kukira kalian sudah tahu, kan? kita kebal, kan?"
"Setahu kami hanya aku dan Darius yang kebal," ucapku sembari kuperlihatkan bekas gigitan di lenganku.
"Semua anak yang dari Tallessa itu kebal, kau Rikaz, kau Darius, Sophie, Resha. Kecuali satu orang, Rendy dia tak seperti kita," ucap Diaz menjelaskan.
"Ya, soal Rendy kami sudah tahu," ucap Darius dengan nada pelan.
"Dia pasti memberitahukannya, kan? di mana sekarang Rendy, di kamar lain?" tanya Lagi Diaz, tapi kami hanya bisa terdiam tak menjawabnya.
"Dia," ucapanku langsung dipotong oleh Diaz.
"Mati, kan?"
"Ya."
"Wajar dengan keadaan sekarang, kalian terlalu lama berkeliaran di luar sana dan kalian masihlah hidup, itu keberuntungan yang kalian buat sendiri," ucap Diaz, "Padahal dia anak yang hebat."
"Ini salahku," ucap Darius yang kini menundukkan kepala.
"Tak ada yang salah di sini, jangan memikirkan yang telah berlalu, yang harus kita pikirkan hanya satu hal, keluar dari sini dan pergi sejauh mungkin," jelas Diaz.
"Apa yang sebenarnya ingin mereka lakukan pada kita?" tanya Darius.
"Mengambil darah secara terus menerus, lebih tepatnya menguras darah untuk kepentingan mereka dan takkan berhenti sampai menemukan darah yang paling cocok."
"Kau serius? kalau kau benar, ini semua sudah gila," ucap Darius kesal.
"Nanti malam biar kutunjukkan sesuatu."
----
Dari ucapan Diaz, mungkin akan ada sesuatu yang akan membuatku tak nyaman di sini.
Kami tidur, mungkin sampai tengah malam kami dibangunkan oleh Diaz.
Kami bersiap untuk menyelinap, di mana Diaz yang menuntun ke tempat yang ia maksud, hanya kami bertiga.
Dari penjelasan Diaz, di sini tak dijaga dengan ketat, lain dengan Tallessa dulu. Alasannya adalah agar tak ada kecurigaan berlebih, tetapi itu tak berpengaruh kepada kami, sebaliknya, semua malah terasa janggal.
Sepertinya ini tak seperti yang kami harapkan, sebuah tempat aman? mungkin kami harus melupakan angan-angan itu.
Secara cepat, tetapi tetap waspada, kami berjalan ke utara, di mana itu adalah dapur dan lumbung padi sekaligus tempat menyimpan bahan makanan, setidaknya cuma itu yang kutahu.
Saat kami sampai pun memang benar tak ada penjagaan, pintu tidak terkunci membuat kami dengan mudahnya masuk, seperti tadi sore saat hanya aku dan Darius bersama Rudi, kami melewati dapur dan berjalan sampai ke belakang tempat ini. Kami menaiki tangga untuk menuju lantai dua.
Lantai dua, setahuku ini adalah tempat menyimpan bahan makanan. Diaz menyuruh kami diam sejenak saat ia berjalan mendekati pintu lumbung padi, ia tak membukanya dan cuma berdiri di sana sembari menatap ke atas. Kemusian ia menoleh ke kami, "Cepat ke sini," ucapnya lirih dan kami segera mendekatinya.
"Darius tolong jongkok, kita takkan sampai jika tak melakukan ini." suruh Diaz.
"Hah? untuk apa?" tanya Darius.
"Ini hanya satu-satunya cara untuk ke atas."
"Kenapa tak lewat tangga?" tanyaku yang juga kupelankan suaraku seperti sebuah bisikan.
"Hanya ini pintu untuk menuju ke atas, entah siapa yang membuat lubang ini, aku sudah mengetahuinya sejak lama," ucapnya panjang lebar, dan akhirnya Darius setuju untuk jongkok.
Diaz yang mempunyai badan paling kecil di antara kami, ia duduk di atas kedua pundak Darius dan ia langsung meraih dan menggeser papan di atas sampai terbuka.
Beberapa saat kemudian ada bau aneh yang tercium, menyengat, menusuk hidungku dan membuat kami menutup hidung sesegera mungkin.
"Turunkan aku," ucap Diaz dan kemudian Darius perlahan menurunkannya, tentu setelah menutup kembali lubang itu.
"Sial! bau apa ini?" tanya Darius sembari membuang ludah.
"Itu yang kumaksud, di atas adalah ruang percobaan." ucap Diaz, "Kita harus cepat kembali."
Kami tak berniat sedikitpun untuk masuk ke atas sana, karena juga akan berbahaya menurut Diaz.
Kami menuruni tangga dan sampai di bawah, dapur atau apalah ini, tempat masak dengan segala perlengkapannya.
"Berhenti," bisik Darius saat kami tengah berjalan dan tak lama lagi--sebenarnya kami sampai ke pintu keluar, "Sembunyi.." lanjutnya lirih.
Kami mengikuti intruksi Darius dengan bersembunyi di balik meja-meja dapur ini.
Kini suara langkah kaki terdengar dengan jelas menuju kemari, lalu tidak lama kemudian mereka masuk, terdengar dari pintu yang terbuka, aku sedikit mengintip dan memang tak terlalu jelas karena di sini gelap, terlihat beberapa orang dan terdengar juga suara erangan. Mereka melewati kami dan terus berjalan sampai tepat di pintu belakang tempat ini dan mereka keluar entah ke mana. Satu orang masihlah berdiri, lalu kemudian naik ke lantai dua.
Kami segera membuka pintu dan dengan langkah cepat menuju tempat kami tinggal, tentu cukup jauh melewati beberapa bangunan lain untuk sampai ke sana.
----
Beruntung kami tak ketahuan tadi. Namun, siapa orang-orang tadi? apa yang mereka lakukan begitu aneh.
Kini kami telah masuk ke kamar, Darius terlihat gelisah, ia hanya mondar-mandir saja sedari tadi.
"Kemungkinan mereka tadi membawa orang yang akan dibunuh," ucap Diaz yang membuatku semakin terkejut dan Darius-pun berhenti mondar-mandir.
"Dibunuh? kenapa?" tanyaku.
"Setahuku mereka bukanlah salah satu dari kita."
"Maksudmu?" tanya Darius.
"Mereka tidaklah kebal, dan ...."
"Mereka tak membutuhkannya ...." potong Darius sebelum Diaz melanjutkan ucapannya.
Saat itu pula aku langsung memikirkan tentang dua temanku, jangan-jangan tadi itu .... mereka?
Mereka yang tidak kebal dan tentu tidak dibutuhkan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK (Wattys Winner 2018)
Science Fiction#Pemenang Wattys2018 kategori The Originals **** Kata mereka, para pemimpin tempat ini. Kami telah diselamatkan dari dunia luar, dari virus yang menyerang. Dan katanya kami itu kebal. Namun, kebal dari apa? Mereka tak menjelaskan, tetapi satu hal...