Kenangan itu sesuatu yang berharga. Tidak bisa dibeli dimanapun. Tidak bisa dikembalikan dan diputar ulang layaknya kita memainkan sebuah vidio yang memiliki tombol pause, play, replay dan next. Bahkan percepat.
Kenangan itu sebuah memori yang tidak tersimpan dalam bentuk file. Hanya tersimpan dalam hati dan jiwa seseorang. Berharga, karena tidak semua orang akan memiliki kenangan yang sama.
Entah itu sebuah kesakitan, atau kebahagiaan. Jika masih tersimpan rapat dalam benak. Namanya tetap kenangan. Karena untuk sebagian orang. Kenangan itu bukan hanya masa-masa indah dan manis. Air mata dan luka juga termasuk di dalamnya.
Suasana taman rumah sakit, sore ini sedikit ramai. Wajar saja, ini awal musim gugur. Banyak pasien yang memutuskan menghabiskan waktu beristirahatnya di taman daripada hanya tidur di atas bangkar.
Mata indah seseorang yang sedang duduk di salah satu bangku taman itu menangkap pemandangan yang entah mengapa membuat dirinya menitikan cairan bening yang kini sudah membanjiri wajah gembilnya. Membuat dirinya tersedu.
Hanya seorang gadis kecil berbaju sama dengannya sedang bermain dengan seorang lelaki dewasa. Mungkin ayah dari si gadis. Interaksi keduanya terlihat sangat menggemaskan.
"Maaf nak? Mungkin kamu tidak akan pernah merasakan hal seperti itu," tangan kanannya menangkup perut yang memang sudah sangat besar. Memberi usapan lembut. Berharap bayi di dalamnya mendengarkan dan mengerti.
"Maaf, karena harus tumbuh dalam rahim Mama?" isakannya semakin keras.
Bahunya semakin bergetar, sekuat tenaga menahan agar tidak ada suara isakan yang lebih keras lagi dari ini. Menguatkan dirinya agar tidak meraung. Ini keputusannya. Dan ini resikonya. Hatinya berbicara menguatkan.
Masih dengan tangan yang menangkup perut besarnya, dan kepala yang menunduk dalam. Ia berbicara kembali. "Mungkin Mama egois, sayang. Tapi ijinkan Mama merasakan menjadi seorang ibu dan melahirkan." tangisnya pecah lagi. Kesanggupan yang dibangunnya selalu runtuh. Berapa kalipun mencoba tidak ingin menangisi keputusannya. Akhirnya selalu seperti ini. Berakhir dengan air mata yang tak kunjung surut.
Tanpa dirinya tau. Dua meter dibelakang bangku yang di duduki itu. Ada seorang lelaki yang kini sedang membeku. Berdiri kaku dengan satu bucket bunga Krisan dalam genggaman tangan kirinya yang terkulai lemas dipinggir paha.
Kalimat yang keluar dari seseorang yang sedang bergetar didepannya itu membuat seluruh persendiannya melemas. Rasanya ingin jatuh dan duduk terkulai. Tapi beruntung, pengendalian dirinya masih bagus.
'Jangan sampai terlihat lemah dan sedih.'
Satu tarikan napas ia ambil. Kemudian bergegas pergi menghampiri si pemilik bahu bergetar. Wajahnya sudah ia buat ceria kembali. Tidak ingin membuat yang sedang menangis tambah menangis.
Setelah melewati perjalanan sekitar empat puluh lima menit. Akhirnya mereka sampai di daerah pemakaman pribadi milik keluarga Park. Membuat Jinyoung menghentikan mobil dan ingatannya pada waktu itu. Jinyoung segera berlari keluar. Mengambil kursi roda Nyonya Park yang emang disimpan di dalam bagasi.
Di ikuti Jisoo yang berniat membantu. Sedangkan si kembar keluar mobil dengan mata yang mengantuk. Mereka tertidur selama perjalanan, omong-omong.
Setelah memindahkan Nyonya Park pada kursi roda. Jinyoung memberikan dua bucket bunga Krisan yang sudah dirangkai dengan warna berbeda-beda pada Jourell dan Jean. Si kembar dengan senang hati menerima bunga itu. Sudah sangat hapal dengan kebiasaan Jinyoung.
Jinyoung kembali ke dalam mobil. Mengambil satu keranjang bunga. Kemudian memberikannya pada Jisoo yang sudah berdiri di belakang kursi roda.
"Bisa kau bawa ini? Biar Eomma aku yang dorong." Jisoo mengambil keranjang itu. Dan mengangguk sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Could Be Destiny
FanfictionJika bertemu kembali denganmu adalah takdir kita, maka kita tidak akan berlari menghampirimu atau berlari menjauhimu. Bagaimanapun keadaannya jika kembali bertemu, kamu punya andil dalam hadirnya dua malaikat jagoanku. Karena mau mengelak bagaimanap...