Chapter 12

762 113 15
                                    

Kehidupan saudaraku, adalah sebuah pulau yang terpisahkan dari semua pulau dan benua lain disekelilingnya. Berapapun perahu engkau layarkan ke pantai lain, ataupun berapapun kapal menepi di pantai kehidupanmu, engkau sendiri tetap merupakan sebuah pulau yang terpisah dan terpencilkan oleh rasa sakitnya sendiri, yang terasing dari kebahagiannya sendiri dan bersemayam jauh dalam keharuannya sendiri, dan tersembunyi dalam kerahasiaannya dan misterinya sendiri. -Kahlil Gibran

Tangannya berhenti di atas buku yang sedang dibacanya. Meraba tulisan itu. Merasakan apa yang di ungkapkan oleh si penulis dalam bacaan tersebut. Mengingatkan dirinya lagi pada kejadian di masa lalu. Enam tahun silam. Kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan.

Dulu usianya masih sepuluh tahun. Masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Yang ia tahu hanya, kakak tercintanya di tampar bahkan di usir oleh ayahnya. Menyebabkan dirinya tidak bertemu lagi dengan sang kakak hingga saat ini. Hingga kini usianya menginjak tujuh belas. Dan membuat ibunya sakit-sakitan.

Tidak ada seorang ibu yang benar-benar rela harus dipisahkan dengan anaknya. Kecuali jika memang tak memiliki hati nurani.

Setelah memberikan tanda pada halaman yang sedang dibacanya, tadi. Ia menyimpan buku itu. Tangannya beralih mengambil sebuah photo yang ia selipkan dalam buku lain. Mengelus sosok dalam photo itu. Membuat memori kebersamaannya dahulu berputar begitu saja dalam ingatannya. Mesti tidak sangat dekat dengan sosok yang sedang ia tatap di dalam photo. Tapi ia cukup menyayanginya. Saudara kandung satu-satunya.

"Sebentar lagi, kumohon kau selalu baik sampai aku menjemputmu," gumamnya. Kemudian mendekap photo itu pada dadanya. Menyalurkan kerinduannya lewat dekapan itu. Merasakan kehangatan pelukan sang kakak. Enam tahun berlalu. Tapi kehangatan itu masih selalu ia rasakan. Kehangatan yang menenangkan selain milik ibunya.

"Daniel!" teriakan itu mengagetkannya. Membuat tangannya dengan cepat menyembunyikan photo itu kembali.

"Ya," jawabnya. Seraya membawa kakinya untuk melangkah. Membuka pintu.

Clek

Saat pintu terbuka, menampilkan sosok seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dalam usianya yang hampir menginjak enam puluh. Senyumnya terlihat menenangkan bagi sosok yang ia panggil Daniel tadi. Sedang berdiri dengan satu gelas susu coklat di atas nampan di tangan.

Masih dengan senyuman itu, tangan yang mulai keriput tapi masih terlihat mulus, menyodorkan gelas susunya. "Kau belum meminum susumu." ucapnya penuh perhatian dalam setiap kata yang ia ucapkan. Membuat sosok remaja dihadapannya tersenyum. 

Daniel mengangguk. Kemudian mengambil alih gelas tersebut. "Seharusnya biar aku yang membuatnya sendiri, Mom." sosok yang dipanggil itu hanya mengelus pipi Daniel dan menggeleng.

"Biarkan ibumu ini memanjakanmu sebelum kau benar-benar pergi ke Korea." ucapnya lagi sambil mengusak surai anak lelakinya itu. Menyingkirkan helaian rambut yang menutupi dahi si anak.  Tersenyum hangat. Mengamati pahatan wajah sang putra dengan penuh kasih sayang.

Membuat yang di tatap ikut tersenyum. Dan langsung memeluk sang ibu. "Jangan khawatir. Aku pasti kembali. Aku janji. Bukan hanya aku yang akan kembali. Tapi Kakak juga," gumamnya. Membuat pelukan si ibu mengerat. Dan menepuk-nepuk bahu anaknya. Mengantarkan keyakinan untuk putranya yang sudah mengetahui duduk perkara kejadian enam tahun lalu sejak tiga tahun belakangan ini.

Ada air mata yang diam-diam keluar dan menetes membasahi bahu keduanya. Menemani kesunyian malam kala itu. Melupakan segelas susu yang mulai mendingin dalam genggaman si anak di balik punggung si ibu.

👶👶

"Kapan kau menyusul, Jie?"

Sebenarnya itu pertanyaan yang sudah sangat sering Jinyoung dengar dari bibir kissablenya Jaebum. Bahkan pertanyaan yang sering dijadikan lelucon oleh Chae Young. Karena pada waktu itu Chae Young akan selalu bergabung dengan Jaebum untuk membuat Jinyoung kesal.

Could Be DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang