Mark keluar kamar dengan menggulung lengan kemeja yang digunakannya hingga batas sikut. Pria itu lebih sering menggunakan kemejanya seperti itu daripada harus dibalut dengan jas. Bukan berarti ia tidak suka memakai jas ke kantor. Mark hanya menggunakan jas di waktu tertentu, omong-omong. Lagipula dia pemiliknya, pemimpinnya. Jadi begitulah.... Selama tidak mempengaruhi nilai saham, dia tidak akan merubah style.
Mark mendudukan diri diatas kursi meja makan. Ikut bergabung, dimana Mina sudah berada di sana, sedang menyantap sarapan sederhana buatannya sendiri -- telur gulung dan secangkir susu.
Sebelum menyantap telurnya, pria itu menyesap susu terlebih dahulu. Kemudian berkata "Sekali-kali carilah resep sarapan yang lain." Mark memulai obrolan sekedar untuk menghilangkan keheningan, dan sedikit menggoda perempuan dihadapannya. Membuat Mina menatapnya malas.
Mina menelengkan tatapannya pada Mark "Beruntung kau tidak aku beri ramen di pagi hari," sedikit mencebikan bibir bawahnya keluar.
Mark tersenyum. "Nanti aku tak mau kau terus kasih sarapan seperti ini, seorang istri itu harus pandai memasak. Kau tau?" oke. Lagi-lagi ini Mark hanya bercanda. Tidak ada maksud lain.
Mina sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Berekspresi terkejut. Membuat Mark yang berada di seberangnya semakin melebarkan senyuman. Mereka memang duduk berhadapan, berseberangan. Terhalang meja makan.
Mina memasukan suapan terakhir telurnya dengan sedikit kasar. "Memang siapa yang akan menjadi istrimu?" seru Mina ketus.
"Tentu saja kau!" jawab Mark menyeringai.
Dengan mulut yang masih penuh karena suapan yang besar. Tangannya terangkat keatas membuat gerakan mengibas dengan cepat. "Mmm akh.uu. tidak mau kalau samma... Duda!" ungkap Mina.
Membuat Mark menautkan dahi.
"Kau bilang apa?""Duda. Hehe."
Tuk
Mark mengetuk dahi Mina dengan sendok yang dia pegang. Membuat Mina meringis dan memegangi dahinya. Seolah Mark memukulnya keras. Padahal demi apa Mark hanya menempelkannya. Rasanya Mark yakin, tidak akan sakit. Lagipula Mark hanya gemas dengan ucapan Mina tadi. Mana tega Mark memukul seorang Mina.
"Aku belum menikah. Bila kau tidak lupa." Mark sedikit mendelik.
"Baiklah. Katakan itu pada lelaki yang berada dihadapanku, yang baru mengetahui jika dirinya mempunyai dua anak, sekaligus." ujarnya panjang lebar. Tertawa puas.
Mark beranjak dari duduknya. Membawa piring kotor dan gelas pada wastafel dengan mengulum senyum. Mengabaikan Mina yang sedang tertawa. Mark tahu jika Mina hanya sedang mengoloknya.
Ketika tangan Mark hendak membawa sarung tangan yang biasa digunakan untuk mencuci, dengan cepat Mina merebutnya dari samping. Membuat Mark berjengit keheranan.
"Kenapa?"
Mina masih sibuk dengan sarung tangan yang di rampasnya. Dengan cepat memakaikan benda karet itu pada kedua tangannya, mengacuhkan Mark yang memperhatikan, menuntut penjelasan.
"Kau duduk saja. Biar aku yang mencuci. Ini hanya sedikit," titahnya. "Anggap saja ini pelayanan bersih-bersih terakhir dariku." ucapnya lagi seraya mulai menggosok.
Mark sedikit menggeser tubuhnya. Bersandar pada pantry. Menyilangkan tangan di depan dada. Memperhatikan Mina yang kini mulai membersihkan tumpukan piring kotor, diiringi dengan bibir yang sedang bersenandung. Membuat Mark mengangkat sudut bibirnya untuk tersenyum. Gemas. Mina yang seperti ini selalu membuat Mark gemas.
Tak akan pernah ada yang menyangka. Dibalik wajah yang sedikit terlihat galak, dan sifatnya yang terkadang dingin bahkan keterlaluan dimata publik. Ada sosok manja, penuh pengertian dan rajin yang hanya selalu Mina perlihatkan pada Mark. Seorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Could Be Destiny
FanfictionJika bertemu kembali denganmu adalah takdir kita, maka kita tidak akan berlari menghampirimu atau berlari menjauhimu. Bagaimanapun keadaannya jika kembali bertemu, kamu punya andil dalam hadirnya dua malaikat jagoanku. Karena mau mengelak bagaimanap...