AFTER THE SUNSET

7.3K 67 2
                                    

Oleh : Alya Hafidzah

Alunan nada bertempo teratur menggema di seluruh auditorium. Gerakannya yang teratur, membuat penonton tertegun. Pikiranku tertuju pada not di depanku, tetapi perasaan yang mengiringi lagu ini, selalu berharap agar pesan yang ku simpan tersampaikan.

3rd Movement of Moonlight Sonata, karya Beethoven. Kumainkan bersama dengan pengiring merangkup sahabat sejak dalam kandungan. Lakenan Martin.

Kami sampai pada nada terakhir yang menjadi klimaks dan penutup sekaligus. Semoga tersampaikan padanya, harapku seraya menarik bow untuk terakhir kalinya.

Kami membungkukkan badan memberi hormat kepada juri dan para guru pendamping. Tepuk tangan terdengar dari seluruh auditorium, aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.

Kami jalan menuruni tangga dengan perasaan yang sudah lama tidak kami rasakan setelah setahun fakum, ini terasa lagi.

Tepat setahun yang lalu, el menalami kecelakaan yang membuat tulang keringnya patah. Ia harus menjalani rehabilitasi selama tujuh bulan sebelum akhirnya dapat berjalan normal kembali. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuknya agar dapat menyeuaikan kembali untuk bermain piano.

Di ujung bawah tangga, kami berpelukan merasakan kembali perasaan yang sudah hilang beberapa saat. Perasaan yang sangat kami rindukan.

"Akhirnya." Kataku melepas pelukannya. "Akhirnya." Ia tersenyum yang memperlihatkan cekung kecil di pipinya. Priceless.

Kami berjalan dari backstage menghampiri teman kami, Rayen dan Ray di kursi penonton. "HITS!" mereka berdiri bertepuk tangan mengundang perhatian seluruh hadirin yang ada di sana.

"Ssst!" sebenarnya, aku pun terkejut dengan teriakannya. Begitu juga dengan El.

Masih tiga jam lagi hingga babak terakhir dimulai, dan aku mulai lapar.

"Beli es krim yuk." Ajaknya menggandeng tanganku. "Yuk." El memang bisa diandalkan. Kami berjalan meinggalkan saudara kembar yang sudah larut dalam permainan kontestan selanjutnya.

Baru saja aku menerima es krim dari penjualnya sebuah suara asing meneriakkan namaku. "Aya!" sontak aku dan El menoleh mencari sumber suara, ia memegang bahuku dengan kedua tangannya.

Terlihat sesosok anak laki-laki sepantaranku berlari mendekat. "Hai!" sapanya terengah-engah. Aku mengernyitkan dahi. "Uhmm" jawabku canggung.

"Siapa nih?" Tanya El. Aku hanya menggeleng. Anak itu juga mengernyitkan dahinya heran.

"Yak?" anak itu bertanya hewan. "Mm, maaf." Aku menoleh melihat El, mempertanyakan anak laki-laki di depanku ini.

"Kamu lupa sama aku?" tanyanya protes. "Basi yak, bercanda kayak gitu." Lanjutnya tidak yakin.

Aku hanya diam mencoba mengingat kembali wajahnya. "Maaf, aku beneran gak tau kamu siapa." Setengah dari diriku merasa bersalah setelah mengucapkannya.

Ia mengacak-acak rambutnya, menampakkan ekspresi kesal. "Aku Andre, teman kecilmu." Tatapannya yang meyakinkan membuatku familiar. Sekarang aku merasa ada secercah harapan untuk mengingat siapa sosok itu,

Hampir saja akan ingat, El menarikku pergi dari hadapannya. "Siapa sih." Katanya menggumam. Aku mengikuti El, tapi ekor mataku menangkap ekspresi Andre yang tersulut.

Aku berjalan mencoba mengingat siapa anak barusan tadi. Kalau ingatanku tak salah, aku pernah melihatnya di suatu tempat. Rasanya familiar. Seperti di... taman? Ingatanku mulai tercampur dengan imajinasi dan ngitan tentang film-film alay yang biasa ku tonton.

25CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang