Tentang Anaira

2.5K 14 0
                                    

Oleh : Farah Diah Q

Ini tentang aku sekitar 9 – 17 tahun yang lalu. Sebelum kuceritakan tentang hidupku yang penuh warna ini, mulai dari cerah bagaikan matahari lalu suram bagaikan mendung hingga kembali cerah lagi,, hai!! Aku Anaira Kumara, panggil saja Ira, aku sekarang berumur 17 tahun, aku bersekolah di SMAN 3 Bandung. Dulu, aku adalah anak yang selalu bahagia dan sangat ceria, dulu aku begitu disayang oleh kedua orangtua, dan dulu aku adalah anak yang manja. Tapi, yang dulu bukanlah sekarang.

***

# 21 Januari 2006

Aku masih ingat sekali, ketika itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SD, ketika pulang sekolah, Mang Uci sopir pribadiku sudah menunggu di depan gerbang sekolah untuk menjemputku. Hal yang paling kunanti – nanti adalah pulang sekolah, karena aku bisa segera pulang dan disuapin bunda dengan gaya pesawat terbang. Setelah 10 menit, akhirnya aku sampai di komplek perumahanku. Pada hari itu, komplek perumahan terlihat begitu ramai karena banyaknya orang jalan beriringan hingga membuat padat jalanan. Namun, setelah kupandangi wajah mereka, aku menyimpulkan kalau seperti ada awan bergemuruh mengiringi di atas kepala mereka, mendung tergambar pada wajah mereka, serta rintik hujan keluar dari mata mereka. Mereka juga memakai pakaian yang senada, yaitu wana hitam. Daripada aku semakin berkhayal, lebih baik aku tanyakan saja ke Mang Uci.

"Mang Ucii, ini ada apa sih? Kok rame banget ngalah – ngalahin kalo ada topeng monyet deh, suram semua pula mukanya."

"Mmm kulo, mboten ngertos mbak" Jawab Mang Uci. dengan logat jawanya.

Jawaban Mang Uci mencurigakan, sangat tidak membantu menjawab firasat burukku. Aku tau Mang Uci berbohong, terlihat jelas dari matanya yang melihat sana – sini dan cara menjawabnya yang gelagapan bingung. Biarlah, nanti sesampainya di rumah, aku akan menanyakan ini ke bunda. Semakin dekat dengan rumahku, mobilku berjalan semakin lambat, "Ya Allaah, semoga semua ini hanya firasatku saja, semoga tidak terjadi apa – apa pada keluargaku, khususnya bunda, karena aku masih pengen disuapin bunda pake gaya pesawat terbang Ya Allaah, Aamiin." Doaku dalam hati. Rombongan pejalan kaki ini belum saja terputus, bulu kudukku berdiri aku takut kalau terjadi suatu keburukan yang berhubungan dengan keluargaku. Semakin dekat dengan rumah, muka Mang Uci menjadi pucat. Setelah melewati banyak sekali kerumunan orang, akhirnya aku sampai di pekarangan rumah. Mataku langsung tertuju pada bendera putih dengan garis merah membentuk seperti huruf T.

Aku langsung berlari masuk ke rumah, aku tak peduli semua mata tertuju padaku. Sekarang aku tau, orang – orang yang aku lihat tadi ternyata berjalan menuju rumahku. Memasuki ruang tamu, air mataku menetes begitu saja melihat bunda terbaring pucat diselimuti kain batik, dengan parasnya yang cantik dan senyuman menghiasi wajahnya. Tepat hari ini, hari Jumat tanggal 21 januari 2006 adalah hari terakhir aku melihat bunda. Ayahku yang tadinya memeluk sambil menenangkan nenek, sekarang berjalan memeluk tubuh kecilku. Dalam pelukan ayah, aku menghadap ke arah bunda, mengingat semua momen yang pernah aku lalui dengannya, tangisanku semakin menjadi – jadi, membuat baju ayah menjadi basah. Setelah 7 menit aku ditenangkan oleh ayah, aku memberanikan diri untuk memeluk tubuh bunda hingga tak sadar aku tertidur di sebelah bunda.

***

# 22 Januari 2006

Tiba – tiba saja aku berada di kamarku, terbangun dari tidurku. Aku lupa apa yang aku lakukan setelah tertidur di sebelah bunda. Pada hari ini, hari Sabtu 22 Januari 2006 adalah hari pertama ku tanpa kehadiran bunda. Pada pagi ini pula, pertama kalinya dalam hidupku, aku terbangun di pagi yang cerah tanpa disambut senyuman dari bibir merah milik bunda dan kecupan hangat dari bunda. Semangat hidupku langsung hilang dan berharap aku bisa tertidur selamanya. Aku ingin sekali menangis, tapi mataku tidak ingin mengeluarkan air yang disimpannya. Mungkin mataku lelah menangis dan air mataku juga tidak ingin hadir di pagi ini.

25CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang