Thalossophile

3.6K 26 1
                                    

Oleh Irnanda Rizka A

Hari semakin gelap. Mataharipun sudah akan berganti tugas dengan sibulan. Bunyi rintikan gerimis sisa hujan sore itu masih terdengar samar-samar. Suasana sore itu sama seperti hatinya. Jari lentiknya bergerak memutari bibir gelas berisi caramel macchiato hangat kesukaannya. Di dalam otaknya masih memikirkan kejadian di sekolah tadi. Hatinya sedang gundah, tatapannya kosong menatap jendela kamarnya yang masih penuh butir-butir air hujan yang menetes perlahan-lahan. Suara si Mbak yang tiba-tiba membuat lamunannya buyar.

"Non, makan yuk. Itu ayam gorengnya keburu dingin."

"Mama dan Papa udah pulang Mbak?" tanyanya pada Mbak Tini.

"Anu.. Ibu barusan telepon kalau pulangnya agak malam Non. Kalau Bapak...." Ujar Mbak Tini terpotong dengan tindakan Lana yang langsung meninggalkan kamarnya. Sudah terlalu sering Lana mendengar jawaban itu. Moodnya bertambah buruk. Masalah dengan Sahabat sedari kecilnya itu sudah membuatnya bingung. Ditambah lagi kedua orangtuanya yang selalu saja sibuk sendiri. Lana memilih untuk makan supaya suasana hatinya berubah membaik. Ternyata ada Daniel, adik Lana yang berjarak dua tahun dengannya itu sedang makan ayam goreng dilengkapi dengan sayur asam masakan Mbak Tini.

"Tumben kamu udah pulang Dan?" sapa Lana sebagai basa-basi dengan adiknya.

"Iya, kangen sayur asam Mbak Tini." Ujar Daniel singkat dan tanpa mengalihkan pandangannya dari sayur asamnya itu. Begitulah Daniel, irit bicara. Dia sedang berlibur ke Indonesia karena sekolahnya di Singapur sedang libur. Selanjutnya, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.

Kisah Raia dan River dalam novel The Architecture of Love berhasil mengalihkan pikirannya dari berbagai kegundahannya. Karangan Ika Natassa selalu menjadi bacaan favoritnya sejak ia duduk dibangku SMP. Bunyi pesan masuk dari ponselnya membuat Lana mengalihkan perhatiannya dari novel. Muncul pesan dengan nama pengirim Genta dilayar ponselnya. Mata bulatnya terbelalak ngeri. Genta hanya menyebut nama Lana lalu diakhiri dengan tanda tanya diakhirnya dalam pesan singkat itu. Lana dibuat bingung setengah mati dengan pesan itu. Lana bingung bagaimana harus menyikapi pesan singkat itu. Pesona Genta memang susah untuk ditolak, Lana tidak mengelak tentang hal itu. Tapi saat itu River lebih menarik daripada Genta. Lana memilih untuk melanjutkan novel yang sedang di pegangnya, hingga novel bercover New York itu menutupi sebagian wajahnya dengan mata terpejam.

Lana terbelalak kaget melihat jarum jam yang mengarah ke angka tujuh. Matanya bergeser melihat jarum panjang jam yang berada pada angka tiga. Artinya dia sudah telat lima belas menit dari jam masuk sekolah. Dan sudah jelas lagi kalau pagi itu dia akan terkena amukan Bu Indah. Lana langsung berlari ke kamar mandi saat wajah sangar Bu Indah terbayang jelas dikepalanya.

"Alanaa... kamu lagi, kamu lagi?" ujar Bu Indah dengan membenarkan kacamatanya.

"Hehe iya Bu" ujar Lana yang agak bingung harus menjawab apa.

"Kamu ini padahal masuk daftar siswi teladan loh. Tapi ya kok telatan toh ? Sudahlah saya bebaskan kamu. Jangan sampai yang ketiga kalinya ya!" ujar Bu Indah dengan logat jawanya yang kental. Lana sebagai anak SMA pada umumnya senang karena tidak dapat hukuman dari Bu Indah pagi itu. Masih tersisa setengah jam lagi untuk pergantian pelajaran kedua, Lana berjalan santai kearah kantin. Rencananya Ia akan memesan roti bakar dan teh hangat untuk sarapannya. Lana memilih duduk di paling ujung kantin dekat stand Bu Sri sambil meniupi teh hangatnya.

"Sendirian aja, Lan?" ujar seseorang didepannya membuat Lana mengalihkan matanya dari teh hangat yang ditiupnya. Lana kaget melihat Genta dengan baju basket kebanggaannya itu. Lana sempat terdiam dengan mendongak melihat Genta yang memang memiliki postur badan tinggi.

25CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang