"Ada benarnya jika cinta tidak harus selamanya saling memiliki, karena cinta bisa didapatkan dengan cara saling memberi kebahagiaan melalui ikatan persahabatan"
*****
Happy reading! ^^
Melihat kepergian mobil Alan, akhirnya Sofie ikut meninggalkan pijakannya dan berjalan menuju gedung Fernandez Group. Namun, ketika Sofie ingin memutar tubuhnya, ia bertabrakan dengan tubuh seorang pria paruh baya yang sedang berjalan terburu-buru.
Brugh!
"Aw," pekik Sofie karena kakinya terkilir akibat dorongan keras ke tubuhnya, menyebabkan kehilangan keseimbangan pada tumpuan high heels yang dikenakannya. Bokongnya mendarat sempurna pada aspal jalanan. Untung saja hari ini Sofie mengenakan celana panjang bahan dan bukan rok.
"Maafkan saya, Nona," ujar si pria paruh baya tersebut dengan nada panik. Saat ia hendak membantu Sofie untuk berdiri, ia melihat sebelah kaki wanita yang ditolongnya tidak begitu bisa berdiri dengan sempurna akibat terkilir. "Kamu terkilir ya?" tanya si pria tersebut.
Sofie mengangguk pelan. "Maafkan saya juga, Pak."
Pria paruh baya dengan setelan kemeja dan jas itu terkejut dengan respon dari si wanita. Ia tidak menyangka wanita yang ditabraknya malah meminta maaf. Padahal ia cukup tahu bahwa yang salah di sini adalah dirinya dan bukan dia. "Saya yang seharusnya minta maaf, Nona. Karena saya, kaki Anda jadi terkilir." Pria tersebut membantu Sofie berjalan sampai dapat tempat untuk duduk.
Setelah Sofie mendapatkan tempat yang sekiranya dapat ia duduki, si pria setengah tua itu berlutut dengan dengkul yang menjadi tumpuannya agar dapat membantu memberikan pijatan kepada kaki Sofie yang terkilir. Merasa tidak enak hati karena dipijit kakinya, Sofie mulai merasa risih karena banyak yang melihat ke arahnya. Ia segera mengungkapkannya pada si pria tua itu.
"Pak, sebenarnya tidak perlu dipijit, nanti saya bisa suruh tukang urut untuk mengurut kaki saya," jeda Sofie sebentar sambil melihat ke arah pria paruh baya di hadapannya ini. "Dan juga, sepertinya anda tadi sedang terburu-burukan? Apa tidak apa-apa?" sambungnya dengan bertanya.
Pria tersebut langsung terdiam dari aksi pijitnya. Wanita ini benar, dirinya memang sedang terburu-buru. "Ah kamu benar, Nona." Pria itu mengeluarkan dompetnya dari saku celananya dan mengambil sebuah kartu nama dirinya untuk diberikannya ke Sofie. "Ini kartu nama saya, kalau kamu membutuhkan apapun dalam pengobatan kakimu, jangan sungkan untuk menelepon saya," pintanya.
Sofie pun menerimanya. "Baik, Pak."
"Baiklah, saya tinggal dulu. Sekali lagi saya benar-benar minta maaf." Setelah mengucapkan permohonan maafnya, si pria paruh baya tersebut langsung bergegas pergi meninggalkan Sofie.
Sofie yang memegang kartu nama pria tua itu melihatnya sambil bergumam sendiri, "Rizaldi Hartawan?" Setelah itu tatapannya beralih ke kakinya sendiri sambil menghela nafas panjang. Melihat dirinya yang sebenarnya butuh pertolongan buat berjalan, akhirnya ia putuskan untuk berusaha sendiri sampai ke ruangan tanpa bantuan.
Selama setengah jam Sofie habiskan berjalan dengan sangat perlahan sambil menahan sakit untuk mencapai ruangan Nino. Baru kali ini Sofie merasakan bahwa ruangan Nino begitu jauh dalam pandangannya. Keringat bercucuran keluar di kening Sofie karena rasa sakit yang ditahannya. Apa aku pulang saja ya?
Sofie mengistirahatkan dirinya sejenak di sofa dalam ruangan tempat Nino. Ia melihat kakinya mulai membengkak dan warna biru sudah terlihat di sekeliling punggung kakinya. Aku harus tahan, banyak kerjaan yang harus aku siapkan untuk Nino. Sofie mengambil ponselnya dan mengetik pesan Line untuk Nino. Ia berniat meminta ijin untuk pulang lebih awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Destiny (ON HOLD)
RomanceBiarlah aku mencintai dengan caraku sendiri. Cinta dalam diam. Cinta yang tak harus memiliki. Aku cukup senang bersama 'Dia', walaupun hanya ku lihat dari sela-sela kebersamaanya bersama sahabatku. Tapi tidak kusangka hari demi hari yang ku lewati...