Satu: Buah Paling Eksotis

35.6K 3.4K 1.2K
                                    

            Gue megap-megap. Ini sudah jam sekian, tapi yang gue tunggu nggak datang juga. Kesabaran gue udah hampir habis. Kalau aja gue nggak ingat tempat, mungkin gue udah nari-nari ala orang India sekarang. Teriak sambil melambaikan selendang biar gokil! Kalau udah bosen, gue emang sering jadi gila! Ini udah kali kesekian gue nunggu, tapi yang gue tunggu nggak pernah peka kalau udah bikin orang lain kelimpungan. Gue nggak bisa diginiin! Semut –semut unyu mulai bergerilya, menggerayangi badan gue. Meski badan segede ini, tapi gue juga bisa benci sama semut yang nggak lebih gede dari upil itu! Mereka selalu aja keroyokan, nggak pernah satu lawan satu! Itu juga mereka selalu berhasil nyelip ke tempat yang paling lemah. Masuk ke celana dalam, lalu gigit onderdil yang paling gue sayangi!

Gue nggak betah lagi di sini. Pasalnya, sekarang posisi gue nggak memungkinkan buat teriak-teriak norak. Kalau tetangga sebelah dengar, bisa-bisa gue diteriakin penampakan! Masa iya malam-malam naik ke atas pohon rambutan dan nunggu tuyul menghampiri gue? Emangnya lagi ada pertemuan makhluk ghaib?

Kalian bingung? Gue bisa jelasin!

Ada sebuah pohon rambutan di halaman rumah gue. Pohon yang sekarang gue naiki ini tepatnya. Pohon ini ditanam ketika usia gue baru lima tahun. Gue yang maksa ayah dulu, sampe gue ngambek nggak doyan makan. Akhirnya ayah setuju dan mungut tumbuhan liar entah di mana, yang disinyalir pohon rambutan. Dan untungnya pohon ini memang jadi rambutan sungguhan, bukan pohon yang tumbuh jadi pohon aneh!

Gue ngerawat pohon ini dengan penuh kasih sayang. Pohon yang ditanam ayah dengan separuh hati ini pun akhirnya tumbuh tinggi, dengan dahan bercabang yang kokoh, dan juga selalu berbuah tiap musim rambutan tiba. Tapi... ada keunggulan lain yang sangat spesial di pohon ini! Pohon ini adalah basecamp alias markas besar buat gue dan juga satu bibit kecapi yang nggak nongol-nongol dari tadi.

Sumpah, bete gue nunggunya!

Padahal tadi gue udah janjian, habis maghrib naik ke sini. Pohon ini udah jadi saksi pertumbuhan gue dan juga persahabatan gue bareng si Bibit Kecapi yang nggak nongol juga. Bibit kecapi yang ini menyerupai manusia. Tetangga gue, sepupu gue, sekaligus temen gue sejak kecil. Anaknya manis. Biasanya sering digodain ibu-ibu se-RT. Tapi buat apa jadi cowok manis, coba? Cewek lebih suka sama cowok ganteng dan macho! Kayak gue!

Namanya Meru. Semeru. Mirip nama gunung. Iya, orang tua kami tergila-gila sama nama gunung. Nama gue aja Bromo. Lengkapnya Rama Bromo Utanda. Singkatannya... Rambutan! Si Biji Kecapi yang manggil gitu. Kadang juga manggil yang lain. Nah, itu dia datang!

"Woi, Kutil Unta! Ngapain aja dari tadi?"

"Mas Bro!" Si Meru melambai riang. Di tangan kanannya ada tempe. "Udah lama?"

Biadab!

"Naik, buruan! Gue udah korengan nunggu lo!"

Meru nyengir. Dia mengantongi tempe berminyaknya ke dalam saku. Gue melongo. Besok pasti mamanya ngomel. Anak ini emang bocah, sumpah!

"Mas Bro, rambutan ini kapan, ya berbuahnya? Kok lama banget!" Meru, cowok cadel itu berbisik. Kepalanya mendongak dengan raut penuh iler. Gue gemes setengah mampus. Apalagi pas lihat dia mencoba mencari pijakan dengan terampil. Sialan!

Kakinya yang pendek ternyata sakti juga!

"Mas Bro, tolong aku!" Dia mencoba naik ke tempat yang gue duduki. Gue menggeleng kencang. Gue nggak mau duduk sebelahan sama dia! Dia rusuh! Jahil setengah mampus. Gue males dijahili kutil ini sekarang. Lagi nggak mood!

Dia selalu manggil gue dengan sebutan Mas Bro. Biar gokil katanya. Padahal gue kadang lelah kalau harus jelasin nama gue.

"Kan emang belum musimnya, Ru!" Gue males membela diri. Meru adalah salah satu keajaiban dunia yang pernah gue ketahui. Tingkah cowok itu terlalu pecicilan, sampe gue berpikir kalau mamanya melahirkan cowok ini terlalu cepat. Harusnya dia disimpan di dalam perut aja sampe beberapa tahun lagi!

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang