Delapan: Meru Ingin Nikah

13.2K 2.3K 425
                                    

            Mulut Rio tuh kurang ajar! Nggak bisa jaga rahasia! Tai! Seenaknya aja dia ngadu ke Meru kalau gue mau hangout bareng si Figa buat nyari gebetan! Akhirnya, Meru tahu dan dia nggak melepaskan gue. Pas bel pulang sekolah bunyi, dia udah bersiap menghadang gue di parkiran. Tangannya telentang, menghalangi motor gue. Gue melongo. Akhirnya Meru mau ngomong lagi sama gue setelah sekian lama! Itu juga karena gue yang bergerak buat menjauh. Tapi kenapa ekspresinya nggak enak gitu?

"Mas Bro mau ke mana? Mau maen sama cewek?"

Rio sialan!

"Lo udah nggak marah sama gue?" Gue menatap Meru. Cowok mungil itu menggeleng kencang. Dia lagi nggak santai sekarang. Gue menelan ludah gugup. Rasanya tuh kayak lagi kepergok nyuri ayam tetangga. Meski gue nggak pernah kayak gitu, tapi mungkin ini rasanya diadili atas apa yang kita lakukan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Meru menggerutu. Nah, kan! Apa gue bilang! Meru sekarang lagi dalam masa buruk, jadi percuma kalau gue melawan dia. Gue bakalan diadili.

Iya, ya? Kenapa gue malah marah dan emosi? Kenapa dia malah murka dan nggak terima kalau gue kencan nyari gebetan? Sebenernya Meru ini kenapa, sih?

Gue meminggirkan motor, lalu parkir di tepi gitu aja. Gue duduk di teras depan kelas sepuluh. Meru mengikuti langkah gue, tapi dia nggak mau duduk di samping gue. Dia lebih memilih berdiri di depan gue. Gue mendongak.

"Kenapa masih berdiri? Duduk sini! Ada yang mau gue omongin sama lo."

"Aku nggak mau duduk!"

"Kenapa? Takut kotor?"

"Emangnya aku apaan?! Aku nggak mau Mas Bro kabur! Jadi, aku berdiri aja buat menghalangi jalan Mas Bro biar nggak ke mana-mana!"

Entah kenapa gue jadi malu banget! Meru bikin harga diri gue seolah-olah lebih pendek dari badannya. Biar gue rada aneh gini kan gue juga masih punya harga diri yang tinggi, yang tiap hari gue kibarkan!

"Jadi... lo udah nggak marah sama gue?" Gue mencoba mendinginkan suasana. Meru masih menatap gue nggak santai.

"Menurut Mas Bro?"

"Ya masih. Tuh, nadanya masih nggak santai aja!" Gue menjawab sendiri apa yang jadi kesimpulan gue. Meru menatap gue tajam. Sekarang dia marah gara-gara apa, coba?

"Kalau udah tahu, kenapa masih dilakuin aja?"

Gue melongo. "Hah? Apaan? Yang mana?"

"Kenapa Mas Bro keluar sama cewek?" Meru menyuarakan isi hatinya. Sederhana, sih tapi ya nyebelin juga kalau didengerin!

Gue nggak mungkin mau keluar sama cewek kayak gini kalau nggak merasa bersalah. Gue bukan perebut gebetan orang, dan gue masih lumayan laku kalau buat pedekatein cewek-cewek. Gue melakukan itu semua juga karena lo, Ru! Lo ingat, kan kalau gue udah dituduh gebetin Kirana, dan sekarang Kirana juga lagi emosi ke gue karena mulut gue. Lebih baik gue dituduh playboy daripada harus dituduh ngerebut gebetan adek gue sendiri! Harga diri gue terpelatuk, tahu!

"Wajar gue keluar sama cewek. Kalau gue keluar sama monyet, baru lo kepoin."

"Nggak wajar!"

Gue tersinggung. Gue ingat kalau Meru ini masih ada hubungan sama cewek yang kemaren-kemaren keukeh gangguin gue. Kirana. Mungkin Meru lagi menginterogasi atas apa yang udah gue lakukan ke Kirana. Tapi sumpah, gue nggak berniat menyakiti perasaan cewek. Dia sendiri yang menawarkan diri buat gue hujat. Padahal gue udah bilang kalau gue nggak tahu. Bahkan, lo tahu sendiri, kan kalau gue selalu minta maaf meski gue nggak salah?

Gue sakit hati dan nggak terima diginiin!

"Kenapa jadi nggak wajar?"

"Mas Bro kan nggak biasa deket cewek!"

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang