Gue menatap Meru. Yang ditatap lagi merengut dan juga mengucek matanya. Kesadarannya belum maksimal. Gue menatap layar laptop, lalu balik menatap Meru. Gue bingung apa yang harus gue bilang ke Meru buat pembukaan. Meru mendekat, lalu sebelah tangannya merangkul bahu gue. Kepalanya mendekat, matanya memicing, mencoba baca apa yang lagi gue buka di laptopnya. Lalu dalam sekejap tangannya luruh begitu aja. Dia nggak menyentuh lengan gue lagi. Mulutnya gelagapan, tapi nggak ada kalimat yang nongol dari sana. Gue menoleh ke arah Meru, mengerjap menatap si Kutil dalam pandangan tajam.
Meru menelan ludah. Dia mundur seketika setelah menutup laptopnya kencang.
"Aku bisa jelaskan!" katanya panik. Gue bisa aja berpikir Meru lagi bikin novel, tapi masalahnya semua tanggalnya begitu berurutan. Andaikan dia emang pengen bikin semacam novel dokumentasi gitu, lalu kenapa dia harus memakai panggilan Mas Rambutan?
Apa si Meru berperan sebagai cewek di novel imajinasinya itu?
"Gue juga pengen denger penjelasan lo tentang ini!" Gue mengembuskan napas sekali lagi. Gue duduk manis di depan Meru, sementara cowok itu juga duduk di depan gue dengan raut yang nggak bisa ditebak.
"Aku pengen jelasin banyak, tapi aku takut."
Gue mencoba sabar. Gue nggak mau berpikiran sempit lalu mencari gara-gara dengan cowok kutil ini. Nggak mau nyari masalah dan nggak mau persaudaraan kami hancur hanya gara-gara diary yang absurd dan nggak jelas itu.
"Gue nggak bakalan marah." Gue berjanji. Meru mendongak. Tingkah sok imut dan lemahnya mulai menghilang. Entah karena gue udah baca catatannya atau karena dia emang berubah.
"Meski aku udah nyembunyiin banyak hal sampe sekarang?"
Gue mengangguk. "Dan gue nggak bakalan neriakin lo homo. Bahkan gue nggak bakalan nyebarin ini ke orang lain."
Meru menggeleng kencang. "Disebarin juga nggak masalah! Aku bukan homo. Aku hanya naksir Mas Bro."
Gue bungkam. Gue kehabisan kata sekarang. Andaikan Meru emang naksir gue sejak lama, kenapa dia bertingkah seolah nggak ada apa-apa? Padahal gue yakin dia terjebak dalam masalah yang sangat membingungkan. Meru dalam masa puber, yang nyatanya banyak fase-fase remaja jatuh cinta. Mungkin ini salah satu bagian dari masa puber Meru!
Tapi kok... kok sejak dulu?
"Jadi, sejak kapan lo punya... punya rasa sama gue?" Gue berdehem gugup. Ditaksir orang yang nggak gue sangka sebelumnya terasa sangat aneh! Bikin canggung. Meru menatap gue sekali lagi, lalu menunduk. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu mengembuskan napas. Meru yang imut tiba-tiba berubah dalam beberapa detik.
Dia menatap gue tajam, khas ala cowok yang manly, meski tinggi badannya masih lebih pendek daripada gue.
"Kalau aku cerita, apa Mas Bro nggak bakalan jijik?"
Dan nadanya juga berubah. Biasanya ada nada mendayu dan juga merajuk ala bocah, tapi sekarang dia nggak menunjukkan nada itu. Dia terdengar serius dan juga tajam. Gue menelan ludah. Takut. Takut kalau Meru kesurupan dan bertingkah kayak gitu.
"Ng... Nggak..."
Meru menatap gue, lalu memalingkan wajahnya. "Pasti jijik!"
Gue nggak tahu harus dari mana memulai ini semua. Gue diem aja. Gue menghela napas, lalu menatap wajah Meru sekali lagi. Gue lagi nggak pengen berdebat dengan cara kekanakan kayak kemarin. Gue pengen denger semua pendapat Meru.
"Selama ini, ada banyak hal yang aku sembunyikan dari Mas Bro. Banyak banget, bahkan sampe aku sendiri aja jijik dengan tingkahku!"
Meru menatap gue. Gue jadi malu dan gugup! Sialan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Panen Rambutan
HumorGue harus tahan cobaan. Si Biji Kecapi lagi ngerusuh di lapak gue. Pohon rambutan yang jadi markas kami akhirnya heboh juga. Kutil sebelah, yang gue sebut Meru ini lumayan jahil. Tangannya kurang ajar. Gue bete setengah mampus. Kaki pendeknya pecici...