Meru sakau. Sebenernya semalem gue udah dinistakan. Gara-gara persetujuan Bunda, Meru memeriksa bokong gue. Dia berdecak, lalu mulai mengolesi minyak gosok di bokong gue. Gue meronta, menjerit nggak terima. Meru masih nggak peduli. Dia terus memijat bokong gue dan mengomel tanpa henti.
"Lihat, nih! Memar dan rada bengkak!" Meru berceloteh. Gue melotot nggak terima.
"Bokong gue udah kayak gitu sejak dulu!"
Meru menggeleng. "Tapi gede separuh, nih! Yang kiri lebih gede."
"Dari dulu juga gitu!" Gue menjerit lagi. Meru menduduki gue paksa, lalu mulai memijat. Pijatannya lumayan, tapi gue nggak bisa menikmati. Meru super berbahaya!
Cowok kutil itu masih bergerak. Tangannya memijat bokong gue intens, lalu nyengir bahagia. Dia terus bergerak di tempat itu, mengurut dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Tapi gue bingung. Gue pusing. Kenapa Meru harus melakukan sesuatu yang nggak bisa gue duga sebelumnya?
"Ru..." Gue meronta. Meru menggeleng pelan.
"Diem, Mas Bro! Aku lagi mijet, nih! Kalau Mas Bro berontak, ntar aku gigit, lho!"
Dan ancaman itu berhasil bikin gue diem. Gue menelan ludah, lalu memutuskan buat diem. Meru serius dengan ucapannya. Gue nggak mau nyari gara-gara. Gue diem aja, meski gue mencoba untuk membela diri. Gue menggigit selimut, berharap penyiksaan ini segera berakhir. Penyiksaan Meru emang kelihatan nikmat dan nyaman, tapi penuh dengan kejahatan dan juga niat kejam. Gue nggak mau nyari resiko.
"Ru..." Gue mencoba bicara dengan cara yang damai, yang bikin Meru nggak terluka ataupun berniat buruk ke gue. Sekarang nasib gue ada di tangannya.
"Iya, Mas Bro?"
"Gue udah ngantuk. Lo bisa pergi. Udah nggak sakit lagi, kok!"
Meru menggeleng pelan. "Kan masih belum lemes, Mas Bro!"
Ucapan ambigunya emang nggak enak didengarkan, tapi gue harus mengusir dia dari sini. Sekarang nasib bokong dan juga segala onderdil yang menyertainya ada di tangan Meru. Gue nggak bisa diancam, jadi gue pasrah.
Jadi, sekarang Meru balik sakau lagi. Setelah itu dia membuat gue tertidur karena pijetannya – yang entah kenapa gue nikmati pada akhirnya. Gue terpejam sampai pagi, nggak sadar kalau Meru sudah melipir balik ke rumahnya.
Lalu cowok mungil itu sakau di kelas. Tatapannya mengiba, menatap gue menuntut. Gue nggak paham apa yang dia lakukan, tapi sekarang ada personel yang tiba-tiba dan entah kenapa jadi duduk sebangku bareng gue. Rio. Ngapain dia pindah di sebelah gue? Biar deketan sama Meru?
"Apa, sih?" Gue terganggu. Meru masih merepet.
"Pengen ke pantai, Mas Bro!"
Gue melongo. Keinginan Meru mutlak. Bahkan Bunda nggak segan-segan beri uang jajan lebih pas Meru bilang pengen nabung buat beli motor. Sekarang... sekarang Kutil yang nggak bisa atau nggak terbiasa naik motor itu minta main ke pantai. Pasti gue yang harus bencongin... eh, boncengin dia! Males!
Kan pantai nggak deket. Lokasinya ada di antah berantah. Jalanannya nggak semulus kulit artis iklan hand body. Belum lagi banyak begal. Trus juga gue capek kalau harus bonceng terus. Biasanya Meru suka nempel-nempel dan meluk terus, dari berangkat sampai tiba di lokasi.
Mana kuat, coba?
"Sana, ke pantai sendiri aja! Naik ojek!" Gue menolak halus. Meru menggeleng.
"Aku kan pengen sama Mas Bro!" Meru mencebik. Gue menoleh ke arah Rio, meminta pendapat dia. Rio tersadar dan mengerjap ke arah gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panen Rambutan
HumorGue harus tahan cobaan. Si Biji Kecapi lagi ngerusuh di lapak gue. Pohon rambutan yang jadi markas kami akhirnya heboh juga. Kutil sebelah, yang gue sebut Meru ini lumayan jahil. Tangannya kurang ajar. Gue bete setengah mampus. Kaki pendeknya pecici...