Dua Belas : Bromo Sensi

15.5K 2.3K 368
                                    

            Gue nggak paham. Gue beneran nggak paham. Setelah gue mencoba buat mengerti dan memahami alasan kenapa Meru kayak gitu, gue masih sampai di tahap bingung. Meru itu unyu. Manis. Banyak cewek yang suka sama dia. Dia populer. Bukan hanya populer di kalangan cewek, di kalangan cowok dan ibu-ibu juga. Meru juga bikin gue gemes nggak keruan. Kenapa dia malah menyembunyikan banyak hal dan bikin gue merasa jadi orang paling bodoh? Gue yang paling nggak tahu, meski itu urusan gue!

Gue menggulung diri gue di balik selimut, sambil mikir apa yang bakalan gue lakukan seandainya ketemu Meru. Gue canggung. Meru udah melakukan sesuatu yang bikin pola pikir gue berubah drastis. Dari mana Meru belajar soal gituan?

Di balik rasa geli dan juga gemes yang gue rasakan, hanya satu pemikiran gue. Gue merasa sangat bersalah. Karena kepasrahan gue pas Meru melakukan itu tadi. Kenapa gue malah terlena?

Semalaman gue nggak bisa tidur, dan keesokan harinya Meru menjemput gue. Bunda seneng bukan main. Bunda kira, gue dan Meru udah baikan kayak sebelumnya.

"Nah, gitu, dong! Baikan, ya! Jangan berantem mulu, Sayang! Nggak baik, udah gede!" Bunda berkomentar. Gue hanya bungkam. Gue nggak mau komentar macam-macam. Gue nggak mau baper lagi karena masalah kemaren.

"Iya, Bunda. Meru nggak bakalan berantem sama Mas Bro lagi. Tapi Mas Bro mau, nggak maafin Meru?" Meru menatap gue. Sialan, dia memanfaatkan situasi!

Dia emang nggak sepolos yang gue duga sebelumnya. Di balik badan dan muka bayinya itu, dia iblis. Dia punya niatan jahat! Dia... kejam!

"Tuh! Meru udah ngajakin baikan! Kamu udah gede, mau, nggak baikan sama Meru?" Bunda menyenggol lengan gue. Gue menghela napas, lalu menatap Meru. Yang gue tatap malah nyengir. Dia sama sekali nggak canggung ataupun salting meski kejadian kemaren merenggut semuanya.

Sedangkan gue?

Gue jadi rada sensi pas lihat Meru. Kenapa dia kuat banget? Kenapa dia bikin gue nggak berkutik kemaren? Kenapa? Kenapa?

"Iya, iya..." Gue berdiri, lalu melangkah lebih dulu. Meru mengekori gue. Dia duduk manis di belakang gue setelah mencium tangan Bunda. Bunda melambai ceria dan Meru balas melambai.

Gue? Gue rada sensi. Biasanya Meru suka nempel-nempel dan meluk gue seenaknya, tapi sekarang gue rada menghindar. Pas Meru mendekat, gue mulai maju. Meru terus maju nggak nyerah. Gue terpaksa mundur karena dudukan gue tinggal sedikit.

"Bisa mundur, nggak?" tanya gue tajam. Meru menggeleng.

"Mas Bro maju, sih!"

"Jangan nempel-nempel, ah!"

Meru menggeleng kencang. Meski gue nggak bisa lihat gelengannya, tapi gue yakin gelengannya super kuat sampe berhasil bikin helmnya tabrakan sama helm gue. Gue merengut dan memutuskan buat diam aja. Meru masih bertingkah sok kayak biasanya, tapi gue nggak bisa!

Sekarang semuanya beda!

Kami sampai di sekolah jauh sebelum bel masuk bunyi. Meru nyengir ke arah gue, lalu melangkah memeluk gue. Sebelum lengannya berhasil memeluk gue, gue udah mendorong dahinya.

"Malu, Ru!"

Meru merengut. "Biasanya kan nggak malu!"

Mau jawab apa gue sekarang? Dulu gue cuek karena gue pikir Meru kayak gitu karena dia emang udah biasa bertingkah manja ke semua orang. Gue pikir dia kayak gitu karena dia emang kekanakan dan orang lain menganggap itu imut meski gue bilang itu menjijikkan! Anak SMA mana yang masih mau meluk-meluk di muka umum dan nggak merasa malu selain Meru? Mungkin urat malunya udah putus!

Ah, nggak Meru doang, Bro! Temen-temen lo juga kelakuannya biadab! Mereka suka banget meluk-meluk dan juga grepe-grepe bokong lo! Mereka sering melecehkan lo di depan umum. Meru itu salah satunya yang masih tahap wajar. Meru cuma meluk dan gandeng-gandeng tangan lo. Orang-orang nganggap wajar karena mereka ngira Meru adek lo.

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang