Lima Belas : Semeru VS Bromo

12.8K 2K 427
                                    

            Gue dan Meru diadili. Pas gue baru markir motor di halaman depan dan Meru turun dari boncengan gue, Mama, Papa, Bunda, dan Ayah udah berdiri di depan pintu rumah gue. Meru nyengir. Tatapan Mama dan Bunda lebih serem daripada tatapan Papa dan Ayah. Gue menyenggol Meru. Si Kutil malah melangkah percaya diri sambil merentangkan tangannya.

"Meru pulang, Mama! Bunda! Papa! Ayah!" katanya. Gue mematung. Gue nggak punya nyali buat mendekat macam Meru. Cowok tengil itu mencium keempat orang tua yang kayaknya lagi murka itu. Gue menelan ludah.

"Kita harus bicara!" Bunda menunjuk wajah gue dan Meru, lalu melangkah lebih dulu. Ketiga orang lainnya mengikuti. Gue menjitak kepala Meru dan melotot.

"Mereka marah, kan! Lo, sih!"

Meru nyengir nggak peduli, lalu mengekori mereka. Kami diadili. Kami duduk di depan keempat orang tua itu. Lalu... suara Mama menginterupsi.

"Ada yang mau cerita duluan?"

Gue adalah anak kesayangan Mama. Gue disayang-sayang sejak kecil. Kalau Mama marah, gue bisa merayu. Kalau Bunda yang marah... gue nyerah.

Meru mengangkat tangan. Apa-apaan anak ini? Ngapain pake angkat tangan segala? Dia mau jawab kuis emangnya? Gue menepuk dahi. Meru mulai berdehem ketika Bunda menyilakannya bicara.

"Jadi begini... kami nyasar ke hutan. Trus nggak tahu jalan pulang. Mau terus lanjut, Mas Bro udah nggak kuat lagi. Jadi kami kemah gitu di hutan, Ma!" Meru bangga. Ini bukan waktunya bangga, Kutil!

"Bromo capek, Ma. Nih, tangan Bromo sampe kapalan gara-gara terlalu banyak pegang setir! Pungung dan bokong juga udah pegel, nih!" Gue curhat. Mama mengembuskan napas, Bunda melengos kesal.

"Trus kenapa nggak angkat telepon Bunda?" Bunda menginterogasi gue.

"Mana denger, Bunda. Kami lagi di jalan. Trus... pas di hutan itu nggak ada sinyal."

Bunda masih nggak terima penjelasan gue. Meru sebagai pihak yang bertanggung jawab banyak harusnya bantu membela diri. Dia yang salah, tapi dia malah nyengir gitu! Gue bukan tipe orang yang suka menyalahkan orang lain di depan, tapi gue lebih suka mengadili Meru. Setelah ini selesai, gue yang akan ganti menyalahkan Biji Kecapi ini!

"Kalian nggak apa?" Papa yang lebih bijaksana, mengganti topik dengan kalimat yang lebih baik. Gue menggeleng pelan. Meru ikut menggeleng kencang.

"Pa, Pa... Mas Bro kasihan, lho, Pa. Dia nyetir terus, badannya juga pasti capek. Makanya... Meru ajak Mas Bro istirahat. Kan mengemudi waktu ngantuk malam-malam pasti nggak baik!"

Keempat orang itu mengangguk setuju. Lihat, kan! Nggak ada yang mendukung gue pas ngomong, tapi pas Meru yang ngoceh, semuanya mengiyakan! Emang mereka nggak adil. Gue nggak mau ngomong apa-apa dan memutuskan buat diem. Gue enggan membela diri kalau nyatanya bakalan salah juga. Ini nggak adil!

Ayah mendekati gue. Gue diem aja. Lalu, dalam beberapa detik... Ayah memeluk gue hangat. Semua emosi, lelah, kecewa, bete, dan lain-lain yang numpuk di otak gue serasa meledak gitu aja. Gue memeluk ayah tercinta yang paling gue sayangi, lalu nangis. Iya, gue mewek! Gue udah capek secara fisik. Nyetir seharian, fokus biar kami nggak kecelakaan... lalu pas gue nyampe, gue malah diadili. Gue nggak butuh diinterogasi, gue nggak butuh ditanyai kenapa gue nggak angkat telepon, atau kenapa gue nyasar, atau kenapa belalang warnanya ijo... gue nggak butuh itu semua!

Gue butuh pelukan. Gue butuh hiburan. Gue butuh penyemangat karena masa-masa berat yang udah gue lalui, yang akhirnya gue bisa sampai dengan selamat ke rumah.

"Jangan nangis, jangan nangis! Udah, Sayang... cup... cup... makasih, ya udah pulang dengan selamat!" Dan ucapan ayah berhasil bikin gue makin sesenggukan di dada beliau. Ayah gue memeluk gue erat, mengelus kepala gue lembut.

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang