Tujuh: Bromo Jones

12.3K 2.2K 468
                                    

            Gue dan Meru terlihat makin menggelikan. Gue nggak tahu kalau pada akhirnya kami harus berantem diem-dieman kayak anak kecil gini. Seenggaknya anak kecil masih tahu maunya apa. Kalau Meru? Gue bingung apa yang dia pengen sebenernya. Dia bilang kagak suka sama Kirana, tapi dia marah pas Kirana deket-deket gue. Aslinya tuh anak emang suka, kali! Cuma dia gengsi aja mau bilang iya!

Selain itu, Meru juga nggak mau bareng gue. Bunda protes dan murka pas denger Meru udah punya tebengan lain. Mas-mas sebelah yang selalu ke pasar tiap pagi, yang selalu bawa pick up itulah yang menerima tebengan Meru. Meru pasti nggak bayar! Selain itu, Mama juga mencoba mendamaikan kami.

"Kalian berantem lagi kenapa? Tuh... Meru sampe nebeng orang lain! Kamu jahat banget sama si Mungil! Sepupu sendiri, juga!" Bunda mengomel. Gue menelan ludah.

"Bukan Bromo yang salah, Bunda."

"Bunda pikir kalian bakalan baikan setelah berantem di atas pohon rambutan malam itu! Ternyata panjang banget, ya! Kayak anak kecil aja!" Bunda berkomentar panjang lebar. Gue menelan ludah gugup.

"Dia dulu, sih yang mulai!"

"Trus?"

"Ya Bromo lanjutin, lah, Bun."

"Kamu ini! Nggak bisa dewasa ngadepin Meru dari dulu. Kamu bukannya setahun dua tahun maen sama dia." Bunda melotot ganas. Gue diem aja. Gue nggak mau melawan ucapan orang tua. Lagian, kalau gue dan Meru berantem, gue yang selalu salah.

Mungkin karena omongan gue nggak sopan. Atau mungkin karena gue tinggi? Atau karena gue... ganteng dan juga menawan? Kok kalian nggak percaya, sih?

"Sana baikan sama Meru! Kasihan, lho dia tuh!" Bunda berkomentar. "Udah nebeng orang tiap pagi, mana pulangnya kadang nunggu ojek!"

Gue merengut. "Kok malah nyalahin Bromo, Bun? Meru sendiri yang nggak mau diajakin bareng! Gengsi katanya!"

Gue nggak terima. Kenapa gue yang disalahin sekarang? Gue kan nggak tahu apa-apa. Gue memutuskan berangkat sekolah daripada harus diomeli. Hanya saja... hari itu gue nggak diomeli bunda aja. Temen-temen sekelas gue juga ikutan! Kenapa nggak ada yang berdiri di pihak gue? Kenapa selalu Meru? Sumpah, iri banget gue!

"Kok tumben nggak bareng Meru?" Satrio nongol di parkiran. Ada Gito juga di sebelahnya. Temen bolos gue yang setia, sorry... sekarang gue nggak bisa maen sama kalian lagi! Gue punya penjaga! Ah, kan si Kutil lagi marah, bisa, kali ya gue kabur! Ada untungnya juga, ah dia marah!

"Emangnya apaan bareng dia mulu! Gue kan bukan emaknya! Emaknya aja kagak segitunya kali pake ngintilin dia!" Gue nyengir. Satrio melangkah ke arah gue, lalu sebelah tangannya menepuk bahu gue.

"Kan lo kembar kurang siam katanya!" cetusnya.

"Dan sesama gunung, biasanya kompakan! Kalau satu meletus, biasanya yang lain juga batuk-batuk pengen ikutan." Gito balas ngomel. Gue mendengus nggak terima.

"Malah ngelantur, ah!" Gue protes dan melangkah lebih dulu. Gito dan Satrio mengikuti langkah gue. Sesekali tangan biadab mereka mengelus bokong seksi gue dan tergelak.

"Sialan! Tuh tangan kagak pernah diruwat, apa pake pegang-pegang onderdil orang!" Gue mengumpat. Satrio dan Gito tergelak kencang. Mereka udah biasa kayak gitu. Gila! Temen sekelas gue pun ketularan mereka. Katanya bokong gue empuk, kayak pake pampers. Ya kali gue pake gituan ke sekolah! Enak, kali, ya tinggal duduk manis dan pipis kalau lagi kebelet!

Gue ngelantur lagi, kan!

"Habisnya pas lo jalan menggoda banget, deh! Pengen gue tepuk!"

"Gue batangan, njir! Lo salah satu kaum LGBT, ya?" Gue kebagian singkatan yang sekarang lagi viral dan rada sensi itu. Satrio mengangguk bangga.

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang