Dua Puluh : Panen Rambutan

20.9K 2.1K 598
                                    

            Meru jadi memuakkan. Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan buat memperbaiki semuanya. Meru berubah. Dia jadi makin memuakkan ketika berada di sekolah. Tingkah manja dan juga sok eksis ala Meru emang mengganggu, tapi nggak ada yang lebih nyebelin dibanding tingkah memuakkan Meru yang itu! Dia jadi eksis di kalangan cewek, bahkan dia jadi... populer. Mungkin!

Gue nggak tahu, dan nggak mau tahu! Sebenernya gue pengen banget tahu, tapi gengsi gue lagi nggak normal. Gue nggak mau Meru terlalu berharap dan akhirnya malah membuat gue kelimpungan. Gue nggak bisa kayak gini terus!

Gue harus cuek! Cuekin, Bro! Lagian juga si Kutil lagi menjalankan perjanjian yang kata dia keren. Dia janji nggak mau peduliin gue lagi. Dia mau melupakan gue. Gue nggak ada masalah dengan pernyataan itu, tapi masalahnya...

Apa iya gue mau dia melupakan gue? Jasa gue ke Meru tuh nggak sedikit, lho! Meru juga pernah bikin gue repot. Kami tumbuh bareng sejak kecil, dan mustahil kalau kami bertingkah dan bermusuhan seolah nggak ada apa-apa. Padahal kami ada apa-apa. Kami punya cerita besar di balik kedekatan kami, yang bahkan Bunda dan Mama aja nggak tahu! Hanya gue, Meru, Tuhan, dan juga laptop Meru yang tahu.

"Kalian cantik-cantik, ya! Betah aku kalau tiap hari ketemu sama kalian..." Si Kutil mencoba menggombal, dan demi apa pun... itu bukan terdengar manis, tapi terdengar... mesum! Gila, si Kutil kagak jago!

"Ih, Meru bisa aja!" Anehnya, para cewek sekarang udah kebanyakan micin. Mereka jadi sakau hanya gara-gara gombalan nggak bermutu ala Meru. Coba kalau gue yang bilang, pasti bakalan disambit gue, deh! Yakin!

Tapi karena ini Meru... Karena ini Meru...

Ah, ngapain gue peduliin? Kan gue udah janji sama dia kalau gue nggak bakal peduliin dia lagi. Dia pun begitu! Kami udah terikat kontrak perjanjian kekanakan yang entah kenapa jadi mirip cerita picisan ataupun FTV-FTV yang sering gue lihat mempertontonkan kisah klise dan juga jarang terjadi. Kadang ada pembantu yang cuantik super dan polos dari desa jadi pembantu si cowok kota yang kaya dan ganteng.

Logika gue nggak nyampe ke sana. Kalau ada yang begituan di dunia nyata, apa yang bakal lo lakuin? Sekian persen, hampir separuh cowok bakalan milih gebetin tuh pembantu! Yakin gue! Kecuali dia nggak normal. Kayak si Meru!

Nah, Meru lagi, kan!

Gue mencoba buat nggak peduli ke Meru. Gue mencoba menutup mata dan nggak peduliin Meru lagi. Gue udah capek lihat dia terus. Tatapan mata gue selalu mengarah ke tempat Meru, meski gue udah mencoba buat nggak melihat Meru yang lagi ngumpul bareng cewek-cewek! Astaga, Bromo! Harga diri!

Mungkin ada beberapa sudut di mana gue merasa muak dan juga ogah mikir. Biasanya gue tipe yang nggak mau ribet, tapi sekarang gue seolah-olah tertarik untuk mengawasi Meru. Ayolah, Bromo! Buktikan kalau lo nggak terpengaruh sama perjanjian konyol dan juga nggak masuk akal itu!

Hidup lo adalah sekumpulan kenyataan, bukan sebuah sinetron yang lo jadikan nyata! Meru adalah cowok. Dia adek lo. Dia adalah orang yang tumbuh bareng lo. Sejak kecil lo udah lihat bentuk burungnya, jadi nggak mungkin lo terobsesi sama itu pas udah gede! Nggak mungkin! Meski lo belum pernah tahu ukurannya, kan!

"Lagi ngapain bengong di sini?" Rio tiba-tiba nongol. Mood gue makin amburadul. Cowok ini punya kisah kelam. Kemaren ada banyak gosip yang bilang dia baru aja putus. Gue nggak tahu gimana ceritanya karena gue nggak terlalu ingin tahu urusan dan hidup orang. Biarin aja, lah! Hidup gue juga belum bener!

"Nggak ada apa-apa." Gue berdusta.

"Lagi berantem sama si Meru?"

Gue mengembuskan napas. "Tahu aja, lo!"

"Gue tahu, lah! Kan gue tipe observer. Gue suka banget neliti orang lain."

Gue nyengir nggak paham. Rio dan juga pemikirannya terkadang bikin gue ogah. Dia emang bukan tipe cowok yang suka ikut-ikutan kebiadaban temen-temen sekelas, tapi dia itu jauh lebih berbahaya dan juga ngejutin!

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang