Empat: Ketika Meru Naksir Cewek

15K 2.3K 344
                                    

Panas terik menyapa. Lapangan basket yang biasanya dihuni anak ekskul basket masih kosong. Sebelumnya, Satrio udah izin ke mereka buat pinjem lapangan sebentar aja. Meru melangkah pede, nyengir geli sambil melambai a la Miss Universe gagal tampil. Temen-temen gue yang didominasi cewek juga tertarik nonton. Gue sebagai asisten satu-satunya si Kutil juga duduk diam di pinggir lapangan dengan gaya bak manajer tim. Sekarang mereka main individu. Di antara kami, yang paling jago maen basket adalah Rio. Cowok itu udah pernah ikut kompetisi tingkat nasional. Gue gugup. Meski gue nggak ikut tanding, tapi gue sempet koar-koar pegang Meru tadi.

Gimana kalau Meru kalah, lalu gue diolok-olok anak sekelas? Nggak penting, sih... tapi gue peduli sama mental Meru yang angin-anginan itu. Gue nggak mau dia trauma. Semua orang bersorak buat Rio. Kiprahnya udah nggak bisa diragukan. Kayaknya cuma gue doang yang jadi pendukung Meru, duduk diam di pinggir lapangan, bawa seplastik es teh yang udah netes-netes, juga tanpa ekspresi. Meru melambai lagi. Di depan cewek-cewek, dia melakukan adegan cium jauh.

Gue melotot jijik ke arahnya. Kebanyakan gaya, nih Kutil!

Gue mencoba buat nggak mengumpat, sampai akhirnya kaki Meru berhenti di depan gue. Dia menunduk, lalu menyedot es teh yang lagi gue pegang.

"Makasih, Asisten! Doakan yang terbaik untuk atletmu, ya!" katanya. Gue cengo. Ini makhluk aslinya imut dan menggemaskan. Banyak orang yang berminat ngangkat dia jadi adek dan anak. Tapi sayangnya mereka nggak pernah tahu kalau makhluk mini ini rada nggak normal kelakuannya.

Dia nggak banci, macho banget malah! Tapi orang selalu nganggap dia nggak mampu dan selalu meremehkan. Padahal... dia jauh lebih berbahaya daripada yang kalian duga! Gue bisa jamin kalau dia bakalan jadi iblis yang sok unyu.
Meru melangkah dengan cengiran. Temen-temen sekelas gue yang cewek lagi berisik. Mereka sibuk teriak-teriak norak. Mereka duduk di bangku pendukung Rio, tapi mereka malah neriakin nama Meru. Gue yakin mereka muka dua! Pasti!

Peluit berbunyi. Kali ini Rio yang mendribel bolanya. Gue diem aja. Gue hitung pake jari. Dalam hitungan kelima, bola di tangan Rio direbut sempurna. Gue nutup mata. Cewek-cewek histeris. Gue tahu gimana jalannya pertandingan ini sekarang! Karena Meru, dengan badan minimalisnya itu super lincah. Dia melompat dan hup... baru sekali lemparan, bola di tangannya masuk ring dengan sempurna. Semua orang menjerit, norak! Mereka bengong. Gue sebagai orang satu-satunya yang duduk berseberangan dengan mereka hanya bisa senyum kalem. Beberapa orang setelah itu berlari ke arah gue. Mereka ganti idola!

Sialan!

"Meruuuuu! Meruuu! I love you!" Dan bangku di sebelah gue langsung berisik. Gue menepuk dahi. Meru masih menguasai pertandingan, tapi gue belum lega. Katanya, pemenang itu selalu berhasil di akhir. Gue diem aja. Gue kira Rio lagi merencanakan sesuatu yang menakjubkan. Tapi...

Sampe peluit dibunyikan, skor masih bikin gue ngeri. 10-0. Gue nggak bisa ngomong apa-apa. Meru bakalan nyombong setelah ini mungkin! Rio terduduk lesu di tengah lapangan. Semua orang menghambur ke arah Meru, menggendong si Kutil seolah dia pemenang dalam kompetisi sebenarnya. Nggak ada yang menghampiri Rio. Gue merasa kasihan tiba-tiba. Karena itulah... gue jadi satu-satunya orang yang menghampiri Rio, yang lagi kelesotan di tengah lapangan panas sendirian.

"Yo..." panggil gue lembut. Gue nggak tegaan orangnya, tahu! Dia temen gue. Dia yang sering beri sontekan ke gue. Dia juga yang sering request jadi kelompok gue tiap ada tugas. "Lo nggak apa?"

Rio mendongak, lalu bibirnya tersenyum. Pahit pasti! Meski Meru menang yang artinya gue menang taruhan, tapi tetep aja gue merasa bersalah. Rio itu temen gue. Dia baik. Gue mengulurkan tangan.

"Gue kalah dari anak kecil, Ram." Dia berbisik pelan. Gue menggeleng. Niat hati ingin menghibur, tapi jatuhnya malah...

"Doi nggak kecil, Yo! Badannya aja yang pendek."

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang