Meru yang rawat inap akhirnya balik ke rumahnya. Gue dan segenap keluarga bersyukur banget. Meru udah mau makan. Dia janji bakalan makan. Dia janji nggak bakal sok takut tinggi lagi. Gue udah menghakimi dia. Gue emang masih belum narik ucapan gue tentang gue yang naksir orang unyu. Sekarang Meru udah nggak mengungkit itu lagi. Gue nggak tahu kenapa, tapi dia masih nempel.
Dia balik lagi jadi kayak anak kecil!
"Aku mau main sama Mas Bro aja, lah!" Meru mampir ke rumah gue, dengan cengiran yang nggak pudar. Gue melongo.
"Sana tidur! Lo baru aja pulang dari rumah sakit!" Gue beneran nggak paham sama stamina Kutil tinggi ini!
"Tidur mulu capek, Mas Bro!"
"Pulang aja sana!" Gue mengusir. Gue udah rapi dan ganteng. Pakai jaket, celana jeans, dan juga sepatu. Gue ada janji sama Gito dan yang lain buat main. Udah lama kami nggak kumpul.
"Mas Bro mau ke mana?" Meru mengerjap polos. Gue mengedikkan bahu.
"Main, lah! Ngumpul sama temen-temen."
"Temen yang mana?" Meru curiga. Gue nggak suka dengan nada tanya si Kutil. Dia merasa gue adalah orang yang berkhianat ke dia. Gue nggak bisa diginiin! Gue nggak bisa!
Gue melongo sekali lagi. Meru nggak terima gue maen sama yang lain. Jemarinya menarik jaket gue. Dia menggeleng pelan.
"Aku mau ikut!"
Gue yang menggeleng kali ini. Dia baru aja sembuh, dan adalah dosa besar kalau gue ngajakin dia keluyuran. Hari ini gue mau ngumpul dan nongkrong ke tempat biasanya. Gue dan Gito cs punya tempat nongkrong. Cafe yang lokasinya di kolong jembatan. Meski di kolong gitu, tapi harga kopinya mahal gila! Tapi serunya di sana lucu dan juga menyenangkan.
"Nggak boleh!"
Meru mencebik. "Ikut, ikut, ikut!"
Gue nggak suka kalau dia mulai manja dan merepet gini. Dengan sisa kesabaran yang ada, gue tunjuk mukanya. "Nggak usah manja kayak anak kecil, Kutil!"
"Kan Mas Bro suka yang unyu-unyu!"
Gue menunduk, memperhatikan Meru yang udah mulai tumbuh dan berkembang. Bahkan gue curiga dia bakalan lebih gede daripada gue. Emang, dia bakalan tinggi dan lebih gede daripada gue nantinya!
"Gue laporin Mama, lo!"
"Aku bisa laporin Mas Bro ke Bunda, biar sekalian aja Mas Bro nggak dibolehin keluar!" Meru mengancam dengan sangat menyeramkan. Gue menelan ludah.
Ini nggak bisa dibiarkan!
Lalu, dengan kecepatan kurang ajar, gue berbalik dan berlari. Gue nggak bawa motor karena janjinya emang gue dijemput. Gue melarikan diri dari Meru, yang menjerit dari depan rumahnya, dengan wajah pengen mewek.
Gue nggak tega, sih... tapi kalau nggak kayak gini... kapan gue bisa keluar?!
Gue kumpul bareng Gito dan yang lain. Harusnya sih gue bisa seneng-seneng, tapi ternyata gagal. Ekspresi Meru ternyata nggak enak banget buat diajakin bahagia. Gue melarikan diri dari Meru, dan ternyata rasanya nggak enak! Gue merasa sangat bersalah! Banget! Apalagi tatapan Meru seolah-olah merasa dibuang. Gue nggak bisa seneng-seneng karena masih kepikiran Meru. Apa yang bakal dia lakukan, ya?
Apa dia bakalan nangis, lalu ngadu ke Bunda?
Atau dia bakalan menghuni kamar gue, nunggu gue sampai gue balik?
Atau dia nggak mau makan sampai gue balik?
Gue nggak bisa mikir apa-apa, akhirnya gue memutuskan sesuatu. Sesuatu yang bukan gue banget! Sesuatu yang bikin gue berpikir kalau gue udah terkontaminasi oleh tatapan melas si Kutil. Gue yang dulu cuek-cuek aja sekarang mulai berubah. Jadi, gue pamit pulang duluan ke temen-temen gue!
KAMU SEDANG MEMBACA
Panen Rambutan
HumorGue harus tahan cobaan. Si Biji Kecapi lagi ngerusuh di lapak gue. Pohon rambutan yang jadi markas kami akhirnya heboh juga. Kutil sebelah, yang gue sebut Meru ini lumayan jahil. Tangannya kurang ajar. Gue bete setengah mampus. Kaki pendeknya pecici...