Dua: Masa Remaja Kurang Hiburan

20K 2.6K 414
                                    

            Perut gue mules. Tiap kali baper gara-gara masa lalu, gue selalu mules. Entah karena luka di masa lalu atau karena malu. Dulu gue dan Meru pernah menjalani masalah yang nggak akan pernah gue lupain seumur hidup. Gue pernah punya pengalaman pahit di pohon rambutan kesayangan ini. Pohon rambutan ini jadi saksi gimana persahabatan gue dan Meru mengalami kembang kempis. Sebenernya, sih menurut gue lebih banyak kempisnya. Gue yang selalu sial tiap deket dia. Tapi sumpah, dulu Meru anak yang manis, penakut, juga pendiam. Dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Sejak nenek dari pihak ayahnya meninggal – yang notabene adalah nenek kesayangannya – Meru jadi pendiam. Dia nggak mau ngomong apa pun.

Kalau udah gitu, gue yang kebagian apesnya. Gue jadi tukang hibur norak yang bahkan rela nari-nari gila di depannya. Meru nggak ketawa, dia cuma senyum tipis-tipis. Gue bete. Kesal juga. Setelah gue merendahkan diri gue sedemikian rupa, Meru cuma berekspresi semacam itu. Tapi anehnya, Mama seneng. Mama bahagia dan memuji gue. Karena itulah, entah sejak kapan... gue selalu kebagian buat menjaga dan menghibur Biji Kutil nan arogan ini! Gue mengiyakan meski hati gue dilema.

Lalu kejadian hari itu mengubah segalanya!

Suatu hari Meru yang sedang kesepian nggak ada teman akhirnya memutuskan untuk naik ke atas pohon rambutan, naik ke markas kami. Waktu itu pohonnya nggak setinggi sekarang, tapi tetep aja butuh keahlian khusus buat naik. Tubuh mungilnya merosot, tapi Meru nggak patah semangat. Dia juga ingin bisa naik ke atas pohon. Gue sering ketawa congkak tiap kali naik ke sana, lalu mencibir Meru yang selalu gagal naik sendiri.

Waktu itu, gue memperhatikan dia dari dalam rumah. Niat iseng gue nongol mendadak. Gue mendekat ke arahnya. Meru udah nyaman duduk di atas pohon. Gue menyelinap dari belakang, dengan keahlian yang udah nggak diragukan lagi gue sampai di belakangnya. Meru kaget, lalu spontan mendorong gue. Gue jatuh ke tanah. Juga pingsan. Sebelum gue sadar, gue denger Meru menjerit kencang, nangis. Karena ulahnya malam itu, gue masuk rumah sakit. Meski nggak ada luka dalam yang parah, tapi tulang lengan gue retak.

Sejak saat itulah Meru berusaha mendekat ke gue, mencoba jagain gue meski gue nggak minta. Gue rada geli ada cowok kupret cebol yang selalu berisik dan bilang bakalan merawat gue dengan baik. Lebih parahnya, dia bilang ingin menebus apa yang udah dia lakukan dulu. Meru orang yang traumatis. Hingga saat ini dia nggak terlalu suka tempat yang tinggi. Meru emang berani naik, tapi nggak sampai atas. Dia cuma duduk di salah satu dahan paling rendah.

Minggu pertama sejak kejadian itu, Meru berusaha manjat pohon sampai lututnya luka. Pokoknya dia harus bisa sampai di atas pohon dengan selamat. Dia nggak mau kejadian yang sama terulang karena dirinya.

"Aku minta maaf."

Hanya itu yang Meru ucapkan. Untuk pertama kalinya juga persahabatan kami dimulai....

***

Persahabatan gue dan Meru berlanjut hingga kami beranjak remaja. Semua orang tahu, di mana ada gue di sana pasti ada si Biji Kecapi alias Meru. Selama ini Meru selalu bertingkah menyebalkan, tapi nggak ada yang lebih menyebalkan dari orang plin-plan yang bikin masalah.

"Jadi, mau ikut bolos apa nggak?" Gue sebagai ketua panitia dalam rencana jahat kali ini nanya baik-baik. Udah ada tiga pasang mata lain yang menatap Meru, menuntut jawaban dia. Semua keputusan diserahkan ke si Kutil, tapi mulutnya harus disegel.

"Kalau ketahuan gimana?" Meru balas nanya ke gue.

"Nggak akan ketahuan kalau lo nggak ngomong, Ru!" Gito bersuara, menunjuk wajah Meru dengan raut mengancam.

"Beneran nggak apa?" Meru balik nanya, menatap keempat pasang mata yang tengah mengadilinya secara kasatmata. Bimo mengangguk dengan raut kesal.

"Nggak usah kelamaan mikir! Kalau nggak mau ya udah, biar kami berempat aja yang maen."

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang