Tiga: Kami Kembar Kurang Siam

16.6K 2.4K 357
                                    

Gue masih baper. Sebenernya gue bisa bertanggung jawab, tapi pengakuan Meru bikin gue kesal bukan main. Si Biji Kecapi ini nggak bisa jaga rahasia. Selain itu, gue juga bakalan dapat mandat menjaga si Kutil kalau emang jadi satu SMA sama gue. Gue bisa apa? Gue nggak bakalan bisa bertahan. Kelakuannya aja nggak normal, gimana gue bisa tahan, coba? Nggak gila aja udah untung!

"Kok lo malah bilang mau satu SMA sama gue?" Gue mengadili dia. Kami lagi duduk di atas pohon rambutan. Meru mengerjap ke arah gue dengan tatapan sok polos. Dia cuma sok polos! Aslinya, dia itu biadab! Licik!

"Cita-citaku kan emang gitu, Mas Bro!"

Gue nggak terima. Kemaren-kemaren gue sempat denger Meru pengen sekolah di luar kota, ambil SMA favorit atau apa gitu! Trus juga mau tinggal di asrama. Gue seneng dan bangga pas denger itu. Kok sekarang ganti lagi? Gue jelas nggak terima dengan pemikirannya yang plin-plan. Masalahnya, gue juga yang kena.

"Aku kehilangan minat, Mas Bro buat jauh-jauhan dari rumah."

"Kenapa? Takut nggak bisa dikelonin Mama?"

Meru menggeleng. "Kalau aku jauh, ntar nggak bisa sering main ke pohon ini, trus juga nggak bisa lihat Mas Bro sering-sering. Banyak teman kocak di luar sana, tapi teman spesial di mataku tetep Mas Bro."

Gue menggeleng jijik kali ini. Meru emang bener-bener nggak rasional. Alasan macam apa yang dia buat itu? Nggak ada hubungan spesial antara kami. Kalau hubungan supersial ada. Gue doang, sih yang sial!

"Kita kan bisa berangkat bareng, Mas Bro! Aku kan mau nabung buat beli motor." Meru menepuk dadanya bangga.

Gue mengejek lagi. Tiap kali Meru bahas soal motor dan yang berhubungan sama tinggi badan, gue selalu nemu bahan. Gue selalu punya cara buat bikin dia bete. Tapi yang paling sering bete tentunya gue!

"Ru..." Gue menatapnya lagi. Kali ini gue punya sesuatu yang lebih penting buat dia, yang harusnya gue ucapkan sejak tadi. "Kenapa lo nggak asyik diajak bolos?"

Meru merengut. "Aku asyik, kok!"

"Lo nggak asyik buat membela diri, Ru! Kenapa lo bilang gitu tadi ke Mama dan Bunda? Lo tahu, kan kalau uang saku gue bakalan dikurangi setelah ini?!" Gue rada emosi. Meru mengerjap beberapa kali.

"Mama bilang, lebih baik jujur meski menyakitkan!"

"Gue nggak butuh quotes lo, Ru! Ini salah lo! Lain kali, ogah gue ngajak lo lagi!" Gue menyuarakan isi hati gue yang paling dalam. Hidung Meru kembang kempis. Dia menatap gue, antara pengen protes atau bahkan pengen teriak nggak terima. Itu sama aja!

"Nggak, nggak! Aku nggak mau lihat Mas Bro bolos lagi! Aku nggak mau Mas Bro nakal kayak gitu!"

Anak ini ngapain, sih?

"Lo nggak bisa diajak kompak, ah!" Gue masih menggerutu, mengkritik segala macam tingkah Meru yang nggak bisa koordinasi dengan pelanggaran itu. Kami masih saling berdebat dan tentu aja gue nggak mau kalah!

***

Beberapa bulan berlalu. Meru mulai sibuk-sibuknya mempersiapkan ujian nasional dan temen-temennya. Dia sering naik ke atas pohon rambutan dan bawa buku di sana. Gue nggak mau ikut karena takut ganggu. Gue cuma diem aja dan sibuk memperhatikan dia dari jauh. Takut dia nggak fokus lalu jatuh. Kasihan kalau dia sampe amnesia.

Setelah dinyatakan lulus dan wisuda, Meru bersemangat masuk SMA. Dan seperti janji sebelumnya, dia emang masuk SMA gue. Gue naik kelas, masuk IPA pada akhirnya. Karena gue didapuk masuk kelas itu, gue nggak bisa liburan karena kebagian tugas jaga ekstrakurikuler. Gue termasuk aktif meski banyak bolos. Siswa baru lagi direbus di lapangan basket.

Panen RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang