CHAPTER 14

447 58 1
                                    


Jariku dengan erat terus memegangi ujung kaos yang kugunakan seraya menatap Jimin yang sibuk menyantap semangkuk bibimbap yang ia pesan dari restoran 24 jam beberapa menit yang lalu.

Netraku tak henti memperhatikan setiap inci wajah Jimin juga pipinya yang sedikit menggembung saat sedang mengunyah makanan.

Persis seperti dulu.

Dulu, saat kami masih menghabiskan makan malam bersama dan juga sebelum ayah dan ibu memutuskan berpisah.

Miris memang saat aku dan Jimin sedang dalam masa pertumbuhan, dimana anak-anak lain seusiaku selalu diawasi oleh orang tua mereka, aku sama sekali tidak merasakan hal itu. Apalagi saat kami berdua sedang down, ayah dan ibu tidak ada disamping kami.

Ayah terlalu malu saat mengetahui kalau Jimin dengan sengaja menabrakkan mobil kesayangan ayah yang ia kendarai ke arah Jeongguk tepat di depan mataku sendiri. Ibu yang awalnya selalu tersenyum dan ramah, mulai berubah setelah hampir setiap hari ia mendengar omongan tetangga tentang Jimin dan melarangku menengok Jeongguk di rumah sakit hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Seoul.

Sampai hal yang tak kuinginkan pun terjadi. Mimpi buruk disetiap keluarga, ayah dan ibuku bercerai tepat satu bulan setelah Jeongguk meninggal dan Jimin yang kabur dari rumah.

Entah apa yang terjadi setelah mereka berdua bercerai, ibu malah membawaku kembali ke Seoul tempat dimana Jeongguk dimakamkan. Padahal jelas-jelas dulu ibu melarangku pergi ke tempat itu untuk melihat Jeongguk untuk yang terakhir kalinya.

Untuk bertahan hidup, kami sementara tinggal di rumah nenek. Ibu memutuskan untuk membuka butik kecil di pinggiran kota dan lama kelamaan butiknya semakin ramai hingga memiliki cabang dimana-mana.

Akhirnya ibu berhasil membeli rumah dua lantai yang lokasinya lebih dekat dengan butik. Dan rumah itu menjadi rumahku sampai saat ini. Sampai ibu akhirnya meninggalkanku sendiri di Seoul untuk meneruskan bisnisnya di Amerika.

Tik!

Aku mengerjapkan mata cepat saat mendengar suara jentikan jemari Jimin.

"Kenapa melamun terus?" Tanyanya sambil memiringkan wajah.

Aku menggeleng lemah lalu menunduk. Jimin terlihat heran. Gerakan di mulutnya perlahan melambat. "Apa apa? Kau tidak suka makanannya?"

"T-tidak. Aku hanya tidak lapar."

Jimin kembali menyumpitkan nasi ke dalam mulutnya. Kulihat bibimbap miliknya tinggal tersisa setengah, sedangkan milikku masih utuh.

"Kau yakin tidak ingin memakannya? Ini lezat, lho." Ucap Jimin meyakinkan tapi lagi-lagi aku menggeleng

"Tidak. Kalau kau menginginkannya, ambil saja." Tanganku menggeser mangkuk bibimbap milikku mendekati mangkuk milik Jimin.

Seketika Jimin menaruh sumpit yang ia pegang di atas meja. Wajahnya menatap ke atas sambil tertawa dipaksakan.

"Yang benar saja, Jisoo. Aku tidak mungkin mengambil makanan milik orang lain sekalipun itu milik adikku sendiri. Lagipula semua ini aku yang membayarnya."

Ya, aku tahu itu. Jimin tidak suka mengambil barang milik orang lain. Sekalipun ia diberi, selama Jimin masih bisa mendapatkannya sendiri, lelaki itu tidak akan menerimanya.

"Apa yang sedang kau pikirkan Jisoo? Kau tidak suka aku datang padamu hanya untuk makan malam bersama dengan adikku sendiri?"

"B-bukan begitu,"

"Lalu kenapa? Ah, atau jangan-jangan, kau menyimpan dendam padaku ya?"

Iris mataku melebar mendengar pertanyaan Jimin barusan. Mulutku mendadak kelu untuk sekedar menjawab.

"Kau tidak menjawab? Kurasa jawabannya iya."

Jimin benar, aku memang menaruh dendam padanya. Tapi aku terlaku takut untuk menjawab 'ya'. Aku takut Jimin kembali melukai orang-orang yang berada di dekatku apalagi kuingat waktu itu Jimin bilang bahwa akan ada suatu hal yang menarik. Tentu saja menarik baginya bukan bagiku.

Jimin melanjutkan makannya lagi. Wajahnya terlihat tenang. Apa pria ini tengah merencanakan sesuatu?

"Habiskan makananmu lalu aku akan pergi."

"Apa?"

Pria itu menunjuk mangkuk milikku dengan sumpit besi ditangannya. "Kalau kau ingin aku segera pergi, cepat makan," Titahnya.

Aku segera mengangguk mengiyakan. Kuraih sumpit besi itu lalu menyumpitkan beberapa butir nasi. Perasaan canggung mulai menyelimutiku apalagi saat Jimin menfokuskan matanya untuk menatapku.

"Kenapa kau menatapku?" Tanyaku bingung. Kuhentikan aktivitasku sejenak.

Tapi Jimin hanya tersenyum. Senyumnya makin melebar hingga giginya terlihat dan matanya hanya tinggal garis lurus. Tangan kanan Jimin digunakan untuk menopang dagu.

"Aku merindukan adik kecilku yang manis ini."

Aku sedikit tertohok. Ada sedikit perasaan kecewa saat mendengar ucapan Jimin barusan. Bagaimana bisa pria lembut dan manis ini sebenarnya pernah membunuh orang? Seharusnya dia bisa menjadi satu-satunya tempat untuk menuangkan segala keluh kesahku. Seharusnya dia menjadi orang yang paling berharga karena kenyataannya aku tidak memiliki siapa-siapa.

Tanpa kusadari air mataku mulai menetes.

Jimin yang semula masih santai-santai menatapku segera membulatkan matanya melihatku menangis. Ia terkejut.

"Hei, ada apa? Kenapa kau menangis?" Tanyanya panik. Ia segera bangkit lalu berdiri di sebelahku. Tangan kanannya sibuk mengusap ujung mataku yang masih mengeluarkan air sedangkan tangan kirinya menekan bahuku agar bisa lebih dekat dengannya. Secara tidak langsung Jimin memelukku.

"Jangan menangis lagi, Jisoo."

Refleks aku menarik tubuhnya lebih dekat. Kedua tanganku melingkar di pinggangnya memeluknya lebih erat. Sudah lama sekali aku tidak merasakan berada dipelukan kakakku sendiri. Semua hal dari Jimin masih sama. Tubuhnya masih mengeluarkan harum yang sama dan selalu terasa hangat.

"Aku merindukan saat-saat kita kecil dulu, Jim."

Kudengar ia terkekeh kecil. "Kau masih tidak sopan, ya," Sahutnya. Ia menaruh dagunya di atas kepalaku sambil mengelus punggungku pelan dengan salah satu tangannya.

Elusannya yang terlalu lembut dan rasa nyaman berada di dekapannya membuatku mengantuk. Hingga akhirnya, aku tertidur dipelukan Jimin.[]

__________


To be continue


butterfly;「jungkook」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang