CHAPTER 7

632 75 5
                                    


Jisoo POV

Aku menarik napas kuat saat kakiku telah sampai di depan sebuah gapura besar yang terbuat dari batu marmer abu.

Tangan kiriku menggenggam erat sebuket bunga. Bunga teratai putih. Bunga yang selalu ia berikan dulu padaku karena menurutnya sifatku sama dengan bunga putih ini. "Kau itu kuat Jisoo-chan, sama seperti bunga ini."

Aku meringis saat kata-kata yang dulu selalu kau ucapkan padaku saat memberikan bunga teratai ini.

"Huh," ku hembuskan napasku lagi. Dengan mantap ku langkahkan kakiku masuk lebih dalam area ini. Area pemakaman.

Tempat ini masih sama seperti terakhir kali ku kunjungi. Deretan gundukan tanah yang tertata rapi di bawah rumput hijau berbentuk persegi panjang. Juga batu nisan berwarna serupa dengan gapura tadi.

Walaupun sudah agak lama aku tidak mengunjungi tempat ini, tapi otakku hapal betul tempat mana yang akan aku tuju.

Hingga akhirnya aku sampai pada nisan yang bertuliskan,

R.I.P
Jeon Jeongguk
1997.9.1 - 2012.6.19

Aku menggigit bibirku mencoba menahan agar air mataku tidak kembali keluar. Ingatanku kembali berputar pada kejadian itu. Tepat 2 minggu setelah kecelakaan yang dialami Jeongguk, laki-laki itu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya setelah sebelumnya koma.

Hatiku hancur saat Ibu Jeongguk memberitahuku kalau putranya telah pergi untuk selamanya dan akan dimakamkan di Seoul tempat laki-laki itu lahir.

Dan yang membuat hatiku makin hancur adalah aku tidak bisa menghadiri upacara pemakaman sahabatku sendiri. Padahal dia lah satu-satunya orang yang paling dekat denganku selama aku tinggal di Jepang dulu. Dan setelah kejadian itu, selama hampir sebulan aku mengurung diri di kamar dan menghabiskan hari-hari dengan menangis.

Aku lalu berjongkok dan mengelus nisan milik Jeongguk.

"Hai Jeongguk-kun, bagaimana kabarmu?"

Aku tersenyum getir, walau kutahu tidak akan ada yang menjawab pertanyaanku tadi, aku tetap bertanya.

"Ini aku, Park Jisoo. Sahabatmu dulu. Kuharap kabarmu baik,

Kau tau, kabarku sedang tidak baik sekarang. Semalam kakakㅡ bukan, Jimin datang ke rumahku dan mengatakan kalau dia merindukanku.

Sungguh, dia juga bilang kalau di akan selalu mengawasiku. Perasaanku jadi tidak enak, aku takut dia berbuat hal seperti dulu lagi, seperti yang ia perbuat padamu."

Cairan bening yang sudah kutahan sedari tadi akhirnya menetes juga. Seharusnya, aku sudah bisa menahan tangisku sejak kematiannya 5 tahun lalu. Aku tidak boleh membuat Jeongguk sedih lagi di atas sana.

Buru-buru ku seka air mataku dan baru ku sadari kalau tangan kiriku masih menggenggam buket bunga.

"Oh iya, ini aku bawakanmu bunga."

Kuletakkan buket bunga itu tepat diatas makam Jeongguk.

"Kau tau, ini bunga yang selalu kau berikan padaku dulu. Kau bilang sifatku sama dengan bunga teratai putih ini. Selalu kuat walaupun diterpa banyak masalah apapun.

Walaupun begitu, aku rapuh sejak kau meninggalkanku.

Kuharap kau bisa berada disini, membiarkanku bersandar di bahumu sambil meluapkan segala keluh kesahku. Sungguh, aku merindukanmu Jeongguk-kun."

Setelahnya ku rasakan angin bertiup cukup kencang. Menerbangkan beberapa helai daun tua yang masih menggantung di pohon juga yang telah tergeletak di tanah.

Sambil menggosokkan kedua tanganku, menahan dingin karena saat ini aku tidak memakai pakaian yang tebal, aku kembali berbicara pada makam Jeongguk. Tak peduli orang akan menganggapku gila atau apa, aku hanya ingin menghilangkan rasa rinduku pada sahabatku ini.

"Oh ya Jeongguk, beberapa hari lalu kelasku kedatangan murid baru dari Busan. Namanya Jeon Jungkook. Kau tau, saat pertama kali aku melihatnya saat memperkenalkan diri sungguh aku merasa kalau dia adalah dirimu Jeongguk,

Dari sifatnya, wajah, tahi lalat di leher dan bawah bibir, senyum kelincinya, bahkan marga kalian juga sama. Sungguh sangat mirip denganmu! Dia bahkan seperti kembaranmu."

Aku tersenyum lebar saat menjelaskan kesamaan yang Jeongguk dan Jungkook miliki.

"Bahkan dia juga mengatakan padaku kalau dia ingin aku memanggilnya Jungkook-kun,"

Senyumku sedikit memudar. Apa Tuhan sengaja mengirimkan Jungkook ke dalam hidupku sebagai pengganti Jeongguk?

Tanpa kusadari, langit sudah berubah gelap. Angin yang semula masih bertiup sesekali kini mulai bertiup kencang tanpa henti. Hujan sepertinya akan turun, tapi tubuhku menolak beranjak dari pusara Jeongguk.

Tes!

Tes!

Hujan turun. Yang awalnya hanya gerimis kini telah turun dengan derasnya.

Tidak ada gunanya kalau aku berlari mencari tempat untuk berteduh karena saat ini aku tengah berada di tengah-tengah pemakaman.

Dan bodohnya, aku tidak membawa payung.

"K-kau tau J-jeonguk, disini dingin,"

Bibirku bergetar. Aku mengeratkan tanganku mencoba memeluk tubuhku ini yang hanya memakai dress hitam pendek yang tidak terlalu tebal.

"Ap-pa disana d-dingin juga Jeongguk?"

Sungguh, hanya untuk mengatakan satu kalimat itu, aku harus bersusah payah. Ditambah kakiku yang sudah terendam genangan air hujan dan tubuhku yang sudah sangat basah kuyup.

Tubuhku bergetar, aku juga melupakan kalau sekarang sudah hampir masuk musin dingin. Sekali lagi Jisoo bodoh.

Aku memandang sekeliling mungkin saja ada seseorang yang akan memberikanku payung. Tapi percuma, tidak ada satupun orang disini kecuali aku tentunya.

Sambil meniup-niup telapak tanganku aku mencoba bertahan agar tidak pingsan. Kepalaku mulai terasa pening karena terus-menerus terguyur air hujan.

"D-dingin." gumamku perlahan. Aku tidak kuat lagi. Ini terlalu dingin dan kepalaku pusing. Tapi tiba-tiba hujan berhenti dan cahayanya menjadi sedikit gelap.

Dengan tubuh yang menggigil kuputar kepalaku kebelakang. Seorang laki-laki memayungiku dan itu adalahㅡ

"Jungkook?"

Dan semuanya menjadi gelap.[]

__________

To be continue


butterfly;「jungkook」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang