Kuatkah kalian menjalani kehidupan milik Tasya yang selalu tidak pernah menemui titik terang?
Mampukah kalian terus mencari titik terang tersebut disaat titik terang tersebut perlahan muncul kemudian kembali menghilang?
Sanggupkah kalian?
Sehun, Bae...
Setelah kepergian Irene dan Om Kai, gue duduk kembali di kursi yang berada disamping Sehun. Gue gak tahu mau bicara apa lagi untuk memecah keheningan di ruangan ini.
Kebencian Irene pada gue seolah menampar gue yang sama sekali belum menyadari kalau gue bukanlah sekadar perebut pacar orang. Ternyata, gue adalah perempuan murahan.
"Tas?" Sehun bertanya dengan cara mendekatkan wajahnya ke gue untuk melihat gue yang sedang memikirkan sesuatu.
"Hm?"
"Kamu lagi mikirin apaan sih?"
"Hun... Menurut kamu, apa aku pantas bersanding sama kamu nanti diatas altar?"
"Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Seharusnya aku yang ngomong kayak gitu ke kamu. Kamu terlalu baik untuk aku karena sudah mau menerima aku yang dulu sempat menjadikan kamu sebagai tempat pelampiasan aku." Sehun membantah perkataan gue.
"Apa kamu gak mau tahu dimana keluarga aku? Dimana Ayah aku?" Gue bertanya dengan sedikit emosi.
"Kalau kamu takut nantinya kamu akan berjalan sendirian tanpa sosok Ayah disamping kamu, ada Om Kai yang bersedia berada disamping kamu, Tas."
"Aku gak mau ada seseorang yang menggantikan posisi Ayah saat hari paling bahagia dalam hidup aku nanti, Hun. Aku juga ingin seperti orang lain yang berjalan berdampingan bersama Ayahnya di hari bahagianya... Apa permintaan aku yang satu itu terlalu berlebihan?"
"Maksud aku bukan begi--"
"Bukan maksud kamu, gimana? Kamu dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari orangtua kamu sampai sekarang, Hun... Sedangkan aku? Aku hanya mendapatkan kasih sayang dari orangtua aku dalam waktu yang singkat... Hanya mereka lah, nyokap bokap nya Baekhyun yang tulus menyayangi aku, Hun..."
Entah mengapa gue sampai terbawa perasaan hingga membuat gue menangis seperti orang yang lemah kayak gini di hadapan Sehun. Dasar hormon sialan!
"Aku minta maaf udah membuat kamu sampai menangis."
Tanpa menghapus air mata gue, gue memberanikan diri untuk menatap bola mata indah milik Sehun dan berbicara sesuatu kepadanya.
"Aku cuma gak mau kamu pergi dan ninggalin aku, Hun... Aku takut... Aku takut kamu bakalan cinta lagi sama Irene... Aku takut kehilangan kamu... Kamu adalah satu-satunya orang yang aku punya... Aku takut..." Setelah berhasil mengatakannya, gue langsung menundukkan kepala gue dan kali ini air mata gue mengalir lebih deras daripada tangisan sebelumnya.
Tangisan gue terhenti begitu tubuh gue merasakan ditarik oleh seseorang masuk ke dalam pelukannya. Sehun. Dialah orang itu.
"Kalau kamu takut aku direbut orang lain, bilang aja. Gak usah malu kayak tadi. Mau bilang kayak gitu aja, kayaknya susah banget. Tinggal bilang gini, 'Aku takut kamu direbut orang lain, Hun' kan enak tanpa harus ada adegan menye-menye nya."
Pipi gue memerah akibat Sehun menggoda gue. Lantas, gue memukul dada bidangnya itu sebagai pelampiasan kekesalan gue terhadap dia.
"Kamu itu ya, di khawatirin malah begitu!"
Sehun kemudian terkekeh melihat sikap gue yang sama persis dan gak beda jauh dengan anak umur dua tahun.
"Makasih telah mengkhawatirkan aku, Tas... Aku janji, hati aku akan selalu untuk kamu tanpa ada orang lain yang bisa merebutnya."
Sehun melepas pelukannya kemudian menatap kedua mata gue sebentar sebelum dia menangkup wajah gue dengan kedua telapak tangannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.