Dia,
Si pohon tua yang berdiri di pinggir jalan kota,
Menatap kosong pada kotak-kotak ajaib berisikan manusia,
mengantarkan mereka pada tempat tujuannyaTak ada yang tahu betapa kenelangsaan yang dirasanya,
Tiap kali ia lihat makhluk-makhluk yang katanya diciptakan sempurna, bernama _manusia_Masih tersimpan jelas dalam benaknya,
Kala mereka datang menghampiri ia dan kawan-kawannya
Mengantarnya pada luka terdalam sepanjang hidupnyaSiang itu mentari sedang terik-teriknya,
Manusia datang dengan mesin bergerigi di tangan kekar mereka
Tak perlu waktu lama, mereka memotong-motong tubuh kawan-kawannya
Membuatnya menjerit tanpa aksara
Dan ia tinggal menunggu ajalnya, sama seperti kawan-kawannyaNamun takdir lain lagi berkata,
Manusia-manusia itu tak pernah menyentuhnya
Meninggalkannya sebatang kara di sudut kota
Membawa potongan-potongan tubuh kawan-kawannya menjauh darinya,Dia terluka,
Kala potongan-potongan tubuh kawannya menatapnya penuh kecewa,
Menelanjanginya,
Menghakimi dengan tatapan itu seolah ia mengkhianati merekaDan dua windu sudah tragedi itu berlalu,
Namun memori itu makin buat si pohon tua pilu,
Harusnya manusia itu ikut memutilasi saja tubuhnya waktu itu
Hingga kini ia tak mungkin merasakan perihnya tertusuk sembilu
Dan mungkin saja kini ia akan bercengkrama bahagia dengan kawan-kawannya yang telah mati ituNamun kenyataannya tak sebaik itu,
Sampai kini ia masih bisa melihat manusia-manusia itu,
Hari-harinya kini seakan diburu waktu
Dengan dendam yang menggebu
Pada manusia berseragam dan berpangkat ituMagelang, 20 Agustus 2017