Prolog

579 25 2
                                    

Prolog

__________


"MINUM dulu, Yo." Aku meletakkan segelas air putih di hadapan Iyo. Tapi seperti biasanya, gumamanku itu hanya lewat ditepi angin malam. Iyo masih berkutat dengan pekerjaan di balik laptopnya.

Saking sudah terbiasa, aku bahkan lupa balasan apa yang seharusnya Iyo katakan. Aku jadi terbiasa ikut tidak peduli, meletakkan gelas itu lalu kembali duduk di hadapannya. Ikut menyibukkan diri dengan pekerjaanku di balik laptop.

Kami biasa seperti itu di jum'at malam, bisa berjam-jam tanpa ada kalimat yang mengudara. Kerutan di dahi Iyo bisa lebih dalam dari pada aku. Entah apa yang dia kerjakan, tapi sikap itu selalu kusuka. 

Saking sukanya, aku jadi malah gagal fokus pada wajahnya. Senyum-senyum sendiri melihat wajah seriusnya. Sayangnya, yang ditatap tidak memerhatikan. Mana tahu dia kemana arah mataku. Baginya, yang penting deadline keras harus dulu diselesaikan.

Dan malam itu, sikap yang tadi kusebutkan muncul lagi. 

Malam itu kami bertemu di kedai kopi, entah sudah Jum'at malam yang keberapa.

Aku yang lebih dulu tiba karena jam pulang kantorku lebih cepat. Iyo menyusul dua puluh menit kemudian, dengan muka masam, dia mengadu. "Ini hari jum'at kok rasa senin ya. Aku hampir belum boleh pulang karena si bule itu masih ngomongin dana."

Relasinya sekarang adalah orang-orang dari luar. Iyo ikut dalam tim inti kantornya untuk bergabung dengan perusahaan-perusahaan eropa. Saat itu proyeknya adalah gedung serba guna dengan desain apik dari arsitek ternama. 

Sayangnya, Iyo belum berpengalaman menghadapi kerja lapangan dengan orang luar. Membuat Iyo harus kerja lebih keras dari biasanya, sibuk lebih sibuk dari biasanya. 

Pagi bisa berangkat rapi memakai kemeja yang sudah disetrika selicin mungkin untuk rapat bersama tim lainnya, pulang bisa babak belur tinggal kaus putih terkena debu dan wajah kusam karena ikut terjun langsung ke lapangan.

Seperti malam itu, Iyo datang dengan kaus biru dongker polos. Wangi khasnya langsung menguar ketika dia mengempaskan bahunya di sofa kedai kopi. Memancingku untuk bertanya, "Kamu mandi, Mas?" saking penasarannya kenapa Iyo wangi sekali?

"Nggak, mana sempat. Cuma pakai parfum. Yang banyak."

Aku mengernyit.

"Soalnya tadi badanku asem banget, untung bawa baju ganti buat ketemu sama kamu," tambahnya. Setelah itu dia membuka laptopnya, menanyakan kabar dan aktivitasku sebentar, lalu sibuk dengan pekerjaannya.

Bagi beberapa orang mungkin Iyo tidak seharusnya seperti itu. Tidak seharusnya mengabaikanku demi pekerjaannya. Sisi lainku juga kadang mengagungkan egoku. 

Kadang, aku juga ingin menjadi perempuan yang rewel ketika merasa diabaikan. Tapi aku bukan anak perempuan labil lagi. Hal itu sepertinya bukan hal yang harus dipermasalahkan. Aku memang tidak masalah.

Bagiku, Iyo sudah melakukan hal terbaik semampunya. 

Iyo bisa saja fokus dengan pekerjaannya tanpa harus bertemu rutin denganku. Pertemuan rutin itu memang salah satu komitmen kami, untuk tetap saling berkomunikasi sesibuk apapun keadaannya. 

Selama pekerjaan bisa dibawa keluar, dari pada kami sibuk di rumah masing-masing yang tidak mungkin bisa chat, kami memilih mengerjakan di kedai kopi. Saling berhadapan, sibuk sendiri-sendiri, tertawa sekali dua kali, saling mencicipi selera makanan masing-masing, lalu berakhir dengan senyumannya yang menutup hariku.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang