05 | Tentang Jarak

107 19 0
                                    

05 | Tentang Jarak

__________


SELAMA aku bersamamu, selain momen-momen yang bisa bikin jantung meletup-letup seperti kembang api, tentu saja ada momen yang membuat tanganku menyapu pipi yang basah. 

Kamu pernah menghilang, tujuh hari.

Tenggelam.

Ditelan pekerjaan.

Malam itu aku pulang lembur, Mas. Aku pulang lebih malam dari biasanya. Belum sampai di situ, jalan raya sepanjang kantor ke rumahku macet total karena ada kecelakaan.

Jarak dari kantor ke rumah yang biasanya dua puluh menit, merenggang jadi satu jam setengah. Begitu tiba di rumah, dengan sisa tenagaku, kupakai untuk mandi, makan, dan mencarimu di deretan chat yang sejak sore berdenting—baru sempat kubuka.

Sayangnya, semua deretan chat itu tidak ada gunanya. Tidak ada chat satupun dari kamu, Yo. Mau tahu rasanya capek setelah beraktivitas dan tidak menemukan penyemangat setelahnya?

Dari balik selimut, di tengah keremangan lampu twinkle, aku meringkuk di atas ranjang kamar. Berusaha untuk tidur, dan berusaha untuk mematikan rasa rindu yang merajam. Kelelahan membuat kerinduan itu lebih terasa, Yo.

Aku menghela napas begitu melihatmu sedang online di tab chat. Tapi kamu masih belum ada kabar juga.

Malam itu, jam sebelas malam, aku sudah sembunyi di dalam selimut, tapi aku tahu kamu pasti masih di luar sana. Entah sedang apa. Aku percaya kamu memang sibuk. Tapi ego ini tidak bisa dielakkan kadang ikut minta terlibat. Masa nggak punya waktu semenit buat kasih kabar? Dan Masa-masa-masa lainnya.

Setiap kali aku protes, kamu cuma tertawa. Aku kadang beneran marah karena kamu jadinya terdengar seolah meremehkan. Kamu cuma bilang, kamu ini memang payah kalau urusan chat. Kamu senangnya telepon. 

Tapi buatku, chat atau telepon dua-duanya sama-sama penting, Yo. Setidaknya untuk menjaga bahwa kehadiran kamu memang ada. Bahwa diingat dalam kondisi apapun itu hangat.

Dua jam kemudian, nada dering custom khusus kamu itu terdengar nyaring. Berhasil membuka mataku dalam sekejap.

"Hai," yaampun suaranya.

"Halo," suaraku serak.

"Bangun dong," suaramu tidak begitu jelas karena entah sedang makan apa di sana. Sebenarnya aku tahu sih kamu makan apa. Kamu senang banget makan asinan sama bihun tengah malam. Kalau kamu di rumah, kamu bilang Ibu selalu menyediakan itu.

Aku nggak tahu enaknya perpaduan bihun sama asinan itu apa.

Aku aja bingung, apa enaknya makan asinan malam-malam? Kamu bilang, kalau nggak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang paling beda. Apa sih, Mas? Kamu dapet quotes dari mana coba?

Aku berdeham. "Iya ini bangun. Kamu pulang ke rumah Ibu, Yo?"

"Iya, aku pulang malam banget dan kangen asinan Ibu. Di rumahku cuma ada bumbu racik."

Aku tersenyum, mengingat lucunya kamu yang berusaha masak semenjak punya rumah sendiri. Tidak begitu besar, ukuran standar perumahan di pinggir kota. Tapi bagiku kamu sudah hebat bisa memilih hidup semandiri itu, Yo. Di saat laki-laki seumuranmu mungkin masih sibuk tebar pesona sana sini dari pada mengurus masa depan.

"Ini..., lagi makan?" tanyaku lagi.

Kamu mungkin di seberang sana mengangguk. "Baru selesai."

"Hm, Mas...? Kamu sehat?"

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang