16 | Kue Pematah Asa

152 17 0
                                    

16 | Kue Pematah Asa

_________


DEDAUNAN melambai di sepanjang perjalanan aku menuju tempat di mana kamu berada. Letak proyekmu memang sedikit ada di ujung kota, membuat suasananya cenderung sepi.

Letaknya yang begitu jauh dari jalan utama kadang membuatku gelisah kalau kamu pulang larut. Khawatir ada apa-apa.

Cahaya senja menyerang puncak kepalaku begitu aku tiba. Di langit yang mulai redup, mestinya juga ada burung-burung beterbangan. Maaf Mas, aku tidak memperhatikan itu semua, aku cuma sibuk memperhatikan langit. Semenjak mengenal kamu, aku tidak tahu kenapa langit menjadi sepenting ini.

Dengan langkah hati-hati, aku melewati bebatuan, pasir, dan melempar senyum pada beberapa pekerja bangunan yang menyapa. Dengan penerangan seadanya, perlahan aku memasuki gedung yang tidak begitu besar.

"Pak Yornan ada di dalam, Mbak. Lagi meeting. Tunggu saja di dalam, di luar dingin." Pak Amad, seorang penjaga gedung menyapaku saat aku baru saja menempati tempat duduk di luar ruangan. Aku menyahutkan terimakasih, diantar Pak Amad menuju lorong.

"Pagi-pagi tadi udah disemprot orang ya saya nggak enak lah! Kenapa nggak ada yang ngasih tahu? Tolong masalah kaya gini yang ada hubungannya sama saya kasih tahu!" Sayup-sayup suaramu terdengar memenuhi lorong. Pak Amad mempersilakan aku duduk, tersenyum pamit pergi.

"Mending jujur dari awal, nggak usah banyak alasan. Nggak usah ngomong muter-muter. Saya otot-ototan sama orang sana juga malu kalau ternyata kita yang salah. Besok saya ke Jogja deh ngomong sama orang sana, tolong atur jadwal berangkat ya, Dina?" suaramu terdengar memekakkan begitu aku sudah menduduki tempat duduk di depan ruangan.

Aku menghela napas dari tempatku duduk. Mendengar nada tinggimu di dalam. Kamu pusing banget pasti ya, Yo? Aku jadi takut.

"Semuanya maaf ya, jujur saya jengkel banget hari ini, tapi tolong kejadian seperti ini jangan diulangi lagi." Dari luar, kudengar nada menyesalmu memenuhi ruangan.

Aku menoleh ke arah pintu ruang meeting, lalu melirik kue di pangkuanku. Tersenyum samar karena tidak sabar sekaligus ragu memberikannya untukmu hari itu.

Aku memang tidak bisa membuat kue, tapi dibantu dengan arahan ibu, seloyang kue bundar itu akhirnya terwujud juga, Mas.

Meski sempat gagal karena aku mengoles whipping cream saat kue belum dingin sepenuhnya, membuatnya meleleh. Meski tidak bagus-bagus amat, tapi ibu bilang kuenya lumayan kok.

Masih bisa dimakan.

Aku nggak tahu apa yang sedang kamu bicarakan di dalam. Tapi dari suaramu, aku tahu kamu pasti sedang banyak pikiran ya, Mas? Mendadak aku khawatir akan kedatanganku ke proyek. Takut kehadiranku malah membuatmu semakin terganggu. Gimana kalau kamu yang lagi pusing gitu lalu lihat kueku yang nggak begitu bagus? Apa nggak bikin semakin jengah?

"Permisi, Mbak. Titip ya ada kiriman buat Pak Yornan...," aku mengangguk memperhatikan Pak Amad yang menaruh bingkisan di atas meja di sebelahku, tersenyum. "Dari Bu Triane," dan kalimat selanjutnya membuat senyumanku menghilang.

Aku membeku di tempat. Dari tempatku duduk, aku tahu isinya apa. Sebuah kotak kue dengan kantung dan box premium dari toko ternama di sepenjuru kota.

Aku menelan liur, berdiri.

Dengan tidak sopan, kulirik permukaannya yang tertutup bungkus transparan. Kue dengan bongkahan cokelat itu terlihat mewah sekali, membuat kueku terlihat seperti sampah dibanding kue mewah milik Triane.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang