03 | Detak
__________
BAU hujan yang bertemu dengan tanah akan selalu membuat siapapun merasakan kedamaian kalau sebentar saja mereka ingin benar-benar merasakan keharuman itu.
Tidak ada yang spesial sih memang, bahkan tentu saja bau hujan tidak seharum parfum ternama yang dibuat oleh tangan-tangan manusia hebat di luar sana.
Ini hanya sekedar bau hujan, bau yang tidak penting bagi seseorang atau malah sebagian lagi tidak pernah tahu bagaimana bau hujan itu.
Entah karena mereka terlalu sibuk merutuki datangnya hujan yang membasahi pakaian-pakaian bagus mereka, atau karena hujan membuat acara-acara penting mereka terhambat.
Tapi sekali lagi, ayo deeh, sebentar saja.
Meluangkan waktu dan menikmati sebuah bau harum hujan yang tidak ada duanya, bau harum paling mahal, spesial dibuat oleh keagungan Tuhan.
Bau hujan itu selalu spesial, setidaknya bagiku yang hampir tidak pernah sekalipun melewatkan kesempatan untuk mencium bau hujan itu.
"Harus berapa kali aku minta kamu masuk ke dalam?!"
Aku terlonjak kaget saat suara itu tiba-tiba terdengar menusuk, tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara tersebut.
Tangan kananku yang sejak tadi menadah air hujan yang jatuh dari ujung genting, refleks terlepas, membuat airnya berjatuhan. Dan ketika aku berbalik badan untuk mendapatimu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah seperti emak-emak yang siap memarahi anaknya, aku berdecak.
"Di sini doang," balasku membela diri. Alih-alih mukamu makin enak dilihat, dagumu malah makin terangkat.
Melihat kerutan dahimu yang semakin dalam, dan tatapanmu yang setajam belati itu, aku hanya bisa menghela napas diam-diam. Salah aku nantang kamu kaya gitu, Mas.
"Iya maaf nggak sengaja," aku minta maaf untuk decakan tadi. Kamu ini, memang benci banget dengar orang decak-decak.
Tapi kamu masih juga menatapku dengan cara pandang yang sama.
"Masuk!" satu kata yang diucapkan dengan nada datar harusnya tidak memberikan efek apa-apa, tapi bagiku kalau kamu sudah sedingin itu, tidak ada pilihan lain selain mengikutimu.
Alih-alih membela diri, aku justru mengalah untuk mendekat. Sebelum tatapanmu membuat sekujur tubuhku beku.
"Susah banget dibilangin!" desismu saat aku melewatimu di ambang pintu.
Kamu mengekor di belakang. Dengan tatapan yang mungkin saja bisa melubangi punggungku.
"Nurut gitu, Ra. Seneng Mas lihatnya," katamu lagi.
Belum sempat menjawab, seisi rumah yang ternyata sedang berkerumun di ruang tengah, rusuh memintaku makan bubur kacang. Ada panci besar mengepul di atas meja. Dan tumpukan mangkuk di sebelahnya.
"Ra makan dulu, Ra. Tuh masih anget."
"Ra ambil mangkuknya, Ra, cobain, Ra."Dan jeritan anak-anak, "Karaaaaaa," sambil berlari-lari bersembunyi di balik badanku saat anak yang lebih besar lain mengejar.
"Siapa ini yang buat, Mas?" tanyaku pada Mas Rumi—sepupuku, berbaur pada kerumunan.
"Tuh, Mbak Sani. Gila hujan-hujan begini makan bubur enak banget," Mas Rumi menjawab, dia bilang dia sudah habis dua mangkuk.
"Di luar itu dingin, Ra. Dengerin Masmu itu lah," suara Mbak Sani—yang berbaik hati membuat bubur satu panci besar itu—melembut saat aku menuangkan bubur ke dalam mangkuk.
![](https://img.wattpad.com/cover/126375695-288-k592911.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori dalam Kata [Completed]
Storie d'amoreSebuah keputusan sulit untuk memilih bertahan pada hati yang bukan miliknya, atau melepas apa yang sudah digenggamnya. Tentang Keara, yang mencintai tanpa percaya.