06 | Dengar

83 17 1
                                    

07 | Dengar

__________


"KEJAUHAN kamu, Ra. Mulai nggak suka aku kamu ngomong kaya gini!" Giliran kamu yang membuang muka.

Aku menghela napas diam-diam. Merasa kamu yang sudah menjadi api, aku setengah mati mengubah hati dari api menjadi air.

"Terlalu lama nggak ada komunikasi sama aja kita buka gerbang buat orang-orang yang mau masuk ke hubungan kita, Yo," gumamku pelan.

"Kamu bisa bertahan dan merasa baik-baik aja tanpa kabar, oke. Tapi mana sadar kamu kalau hatimu buatku diam-diam lagi disisihin sama orang lain? Aku yang nggak bisa. Bukan minta diingetin makan, bukan dikasih sapaan have a nice day terus. Tapi biar kita selalu merasa dekat yo. Nggak hambar, nggak dingin."

Aku mengigit bibir. Tenggorokanku sakit lagi, menahan tangis. Enggak, aku nggak mau menangis lagi di depanmu, Yo.

Kamu kalau aku menangis pasti kamu jadi otomatis mengalah. Bukan karena masalahnya selesai atau kamu merasa salah, tapi karena kamu kasihan lihat aku. Dan akhirnya masalah itu ditutup dengan kalimat, "Yaudah, maafin, Mas, ya."

Terlihat mudah, tapi aku nggak suka kalau kamu mengalah hanya karena untuk membuatku merasa dihargai, bukan karena kamu sadar apa yang aku permasalahkan. Sama seperti nggak sukanya aku sama orang-orang yang meminta maaf tapi tidak menyesali kesalahannya.

"Udah aku bilang gimana caraku merasa disayang, dengan adanya kamu. Ada. Bukan yang telepon aku seminggu sekali. Aku ngebiarin kamu satu proyek sama orang yang pernah kamu sayang banget, dan ngebiarin kita jarang ada kontek? Sama aja aku ngebiarin kamu pergi, Yo."

"—Aku sama Triane nggak ada apa-apa, Ra!" gumamanku dibalasmu dengan tegas. Tapi aku tidak mendengar nada kejujuran di sana.

"Aku pulang sendiri aja, Yo."

Lalu aku memilih pergi duluan saat itu. Capek aku ngomong sama kamu, Yo. Nggak pernah ngerti-ngerti kalo sifat dasar wanita memang pencemburu. Kamu tuh memang baik orangnya, terlalu baik malah sampai mantan aja kamu jadikan teman.

Kamu bisa kubur dalam-dalam patah hati yang kamu rasakan dulu. Kamu bisa bersikap seolah semua baik-baik aja. Kamu bisa kayang, koprol, joget-joget buat meyakinkan aku kalau kamu dan Triane nggak ada apa-apa lagi.

Tapi aku tahu satu hal yang kamu sendiri bahkan nggak sadar.

Kamu masih merasa senang berada dekat Triane, Yo.

Itu yang bikin aku selalu menangis setiap kali aku mengemukakan kenapa aku nggak mau kamu tinggal terlalu lama. Situasinya nggak lagi seperti dulu, Mas. Dulu aku memang nggak masalah kalau kamu sibuk. Tapi kalau aku merasa celah itu bisa dimanfaatkan untuk orang lain, nggak mungkin aku masih juga diam saja Mas.

* * *

Aku beranjak pulang sendirian.

Kamu masih diam, enggan berlari, enggan menarik-narik baju atau tanganku, tapi kamu tetap berjalan dengan tenang, mengekori langkahku. Aku melangkah buru-buru. Kamu tetap berjalan tanpa mempercepat langkahmu untuk mengejar, membiarkan jarak di antara kita semakin merenggang.

Langkahku berhenti begitu di pertigaan jalan. Pundakku melemas, aku ngerti kenapa kamu nggak mempercepat langkah kamu, Yo. Karena kamu tahu langkahku pasti berhenti di persimpangan jalan.

Iya aku nggak bisa nyeberang.

Tapi benar kata orang, kondisi marah bisa bikin kita lebih nekat. Aku maju mundur takut-takut. Mobil dan motor juga sialan banget lagi, bawanya kencang-kencang. Sampai akhirnya ada cowok tiba-tiba merentangkan tangannya di sampingku dan bilang, "Ayo Mbak."

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang