01 | Hallo, Yornan

320 21 2
                                    

01 | Hallo, Yornan

__________


MALAM ini hujan, Mas. 

Di sana gimana?

Aku sudah merapatkan mantel begitu keluar dari kantor tadi. Iya aku lembur, jadi pulang lebih sore dari biasanya. Sudah minta Bima jemput, tapi anak itu malah mengeluh karena katanya baru saja sampai rumah setelah menjemput ibu dari supermarket.

Sampai akhirnya kata Bima kamu datang ke rumah, dan dengan kurang ajarnya dia memintamu yang menjemputku di halte.

"Bukannya bilang aku aja, kan nanti bisa kujemput sekalian. Nggak perlu naik busway." Kamu membelokkan setir di tikungan. 

Aku tertawa pelan. Agak lega dengan kamu bilang begitu ternyata kamu nggak keberatan ya, Yo, disusahin Bima karena minta jemput aku hujan-hujan begini?

Kemeja merah marun yang digulung hingga siku masih menempel di tubuhmu. Sepulang kerja, kamu sengaja ke rumahku karena mau minta dibuatkan mi rebus oleh Ibu, sekalian mau main karambol sama Bima, sekaligus kangen sama aku. Aku salting beneran lho saat kamu bilang begitu, Yo.

"Mana tahu kamu pulang gini hari, biasanya juga malam banget," aku menyahut sambil berselancar di ponselmu.

Malam itu, kamu cerita tentang perkembangan proyek gedung yang sedang kamu kerjakan, sekaligus menunjukkan foto-foto bangunannya.

Hari itu harapan kamu pupus untuk dibuatkan mi rebus oleh Ibu, Yo. Karena kamu nggak enak saat tahu Ibu baru saja pulang, meskipun sebenarnya Ibu akan senang hati kalau ada yang minta dimasakin. 

Kata kamu, mi rebus buatan Ibuku adalah mi terenak. Yaiyalah enak, kan calon mertua ya, Yo?

"Mas, ini siapa nih cowok ganteng banget?" aku bertanya setelah mengusap layar, berganti menampilkan seorang laki-laki dengan kemeja biru berdiri di depan gedung yang setengah jadi, dengan tangan menyilang, dan tentu saja dengan senyuman setipis benang sutra.

Kamu menoleh, "Iseng," jawab kamu pendek, tersenyum malu-malu. Bagimu iseng, tapi aku diam-diam mengirim fotomu itu ke what's app-ku. Kamu soalnya..., ganteng di foto itu.

Semejak aku berselancar di ponselmu, aku jadi tahu kalau kamu ternyata punya kebiasaan yang sangat-sangat kurang ajar. Enggak, nggak simpan video macem-macem kok, tapi kamu senang banget ambil fotoku diam-diam.

Romantis ya? Iya, kalau hasil fotoku bagus atau jadi cantik kaya Raisa. 

Ini boro-boro.

Mukaku demek semua gitu.

"Abisnya kamu kalau difoto susah banget," kamu komentar begitu saat aku mencak-mencak minta dihapus fotonya. Lha lucu, kamu nggak ngaca ya, Yo? Selama ini yang lebih susah diajak foto siapa?

"Kamu lah!" kamu menunjukku.

Aku mau bantah, tapi jawabannya Iya. Aku paling malu kalau foto sendiri.

"Tapi aku bersyukur sih," kamu bergumam lagi, menatap padatnya lalu lintas begitu mobil berhenti di pertigaan jalan.

"Untuk?"

"Untuk nggak majang banyak foto kamu di media sosial. Jadi, aku nggak perlu bawelin kamu buat menuhin feed orang dengan foto selfie kamu, Ra. No no, nggak bisa bayangin aku."

Aku nyengir saat kamu bilang begitu, Yo. "Kenapa harus dibayangin?"

"Fotonya buat aku aja ya? Biar aku aja yang lihat."

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang