Epilog

215 19 5
                                    

Epilog

__________


DI BAWAH temaram lampu balkon lantai dua, aku menengadah menatap langit gelap. Sudah jam sebelas malam, Iyo mungkin sudah di jalan pulang. Angin yang berembus sesekali, terasa mendamaikan meskipun menggelitiki telinga. Aku mengusap tengkuk, menatap jalanan di bawah sana yang begitu sepi.

Aku masih di sini, di lantai dua rumah nomor tujuh belas.

Semenjak dia berencana membawaku ke dalam satu atap, diam-diam dia merenovasi rumah itu hingga terbangun dua lantai. Memberi lahan untuk balkon yang dilapisi dengan karpet rumput sintetis, menghadap ke jalan. Membuat lahan itu terasa nyaman sekali untuk memandangi langit sambil berbaring. 

Tempat yang biasa kusinggahi saat sudah mulai tidak sabar menunggunya pulang. Menanti suara kendaraan dengan lampu menyala, dan suara klakson yang dibunyikan satu kali.

Seperti malam ini. 

Cowok cakep akhirnya pulang.

Di bawah sana aku melihat Mas Iyo mendengak ke atas begitu tiba di depan pagar rumah. Rupanya dia menyadari posisiku. Dia membuka kaca helm, samar kulihat Mas Iyo seakan terganggu akan sesuatu. Lalu dia membunyikan klakson lagi, tapi aku tahu suara klakson keduanya bukan karena dia tidak sabaran menungguku membukakan pagar, tapi karena teguran, "ngapain di sana?"

Aku cepat-cepat turun ke bawah, membukakan pintu pagar, menyilakannya masuk.

"Ngapain di luar malam-malam gitu ah, jangan lagi kalau aku nggak ada," dengan dahi mengerut dalam, dia menyapaku dengan raut wajah jemu. Dia ini, memang selalu marah kalau lihat aku ada di situasi yang baginya kurang aman. Lihat hujan terlalu lama di luar, di balkon rumah malam-malam sendirian, bahkan memindahkan barang-barang berat tanpanya selalu berujung dengan kerutan di dahinya. "Ini ada aku lho, Ra, nggak dianggep?"

Dan aku justru belum juga kapok untuk mengulangnya lagi dan lagi. Malah kebalikannya, membesit tawa melihat rautnya yang begitu. Bertoleransi pada kalimat, "Ampun, ndoro."

Aku terkekeh, menerima helm yang dia sodorkan. Rambutnya berantakan saat helmnya dilepas. Tapi aku selalu suka rambutnya yang berantakan, membuatnya semakin..., menawan. Dan tentu saja selalu membuat senyumku mengembang tiada tepi.

"Mas? Mas mau nggak malam ini lihat langit sama aku?" 

Wajah itu perlahan terangkat, sambil melepas sarung tangan, dia menatapku dengan tatapan menyidik.

"Habis makan deh, lapar ya? Nanti malah masuk angin kalau perutnya kosong."

Dia tertawa.

Sebetulnya banyak sekali cerita tentang Iyo. Karena kehadirannya begitu berarti, aku memutuskan untuk menyimpan semua memori itu dalam kata sejak aku menyadari betapa pentingnya dia di hidupku.

Kemarin pagi saat kami sarapan, aku bilang padanya kalau aku kesulitan menulis lagi. Dengan alis tertaut dia bertanya, "kenapa?" kubalas dengan jawaban klise, aku sudah terlalu sibuk di kantor. Padahal sebenarnya, karena tulisan tentangnya berantakan efek emosi yang pernah ada saat kami berkonflik tentang Triane. 

Dia melahap suapan pertama dari masakanku pagi itu. "Ra, kalau nulis nggak boleh ditumpahin semua gitu, Ra. Nanti kesannya jadi—" dia terhenti sejenak, bingung mencari kata. "—harus bener-bener rileks nulisnya biar relate."

Dia berdeham. "Kamu nggak boleh berhenti menulis, kamu harus terus berkarya, Ra."

Aku tertawa, mencari pembelaan. Meski aku mengakui bahwa apa yang dia katakan benar, dan diam-diam kukantongi dukungan darinya. Tersimpan menjadi energi baru.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang