12 | Adu Ego

110 15 1
                                    

12  | Adu Ego

__________


ENTAH sudah berapa kali kamu menyaksikan atau menghadapi tingkah burukku, Yo.

Aku ingat, dulu, saat Mas Rumi mau lamaran. Mas Rumi, yang Ayahnya sudah meninggal, datang dari Purwokerto hanya bersama Ibunya, dan minta Bapak mewakilkan acara lamaran itu.

Ibu dan Bapak juga minta kamu bantu mempersiapkan acara, minta kamu menginap di rumah sebelum hari H biar bisa pagi-pagi berangkat bareng ke Tangerang.

"Kamu temenin Mas Rumi nanti ya, Yo."

Kamu yang ditunjuk hanya bingung, salah tingkah.

"Biar tahu nanti gimana kalau lamar Keara," Bapakku menimpali, memberi dukungan.

Aku nyengir penuh kemenangan, kamu semakin salah tingkah. Mengiyakan sopan.

Malam sebelum hari lamaran Mas Rumi, aku tiba di rumah jam sembilan malam dengan tenaga yang kupaksakan masih bisa berjalan. Aku datang ke rumah dengan muka masam, tidak bisa bohong kalau aku kelelahan.

Kita punya sisi gelap yang tidak bisa dipungkiri sulit dihilangkan. Kamu selalu uring-uringan dan mudah emosi kalau kamu banyak masalah di tempat kerja. Apalagi tentang proyek.

Aku selalu marah-marah kalau kelelahan.

Dan malam itu untuk pertama kalinya kamu ada di saat aku sedang di titik itu, Mas.

Rupanya, kamu sudah sejak satu jam yang lalu tiba di rumahku, sedang asyik tertawa-tawa dengan Bima dan Mas Rumi saat aku pulang.

Lokasi kerja kita yang berlawanan arah memang jarang kubalas pesanmu setiap kamu tanya aku pulang jam berapa. Karena kamu pasti jemput kalau jam kantorku keluar lebih dulu. Aku yang nggak mau, kasihan bolak-balik.

Aku belum bisa menetralkan emosiku akibat seharian produktif dan menghadapi orang-orang rewel di kantor. Bahkan setelah berpuluh-puluh menit perjalanan, menyebabkan aku pulang dengan raut wajah dilipat-lipat.

"Langsung mandi, Ra."
"Kok malam banget, Ra."
"Macet ya, Ra?"
"Ra bajunya langsung ke mesin cuciin, Ra."

Itu sambutan dari Bapak. Rentetan suara itu justru membuatku naik darah.

Saat aku sibuk mencari handuk, Bapak lagi-lagi menegur, "Ra, kamu langsung mandi dong, Ra, kamu kan dari luar."

"Ya sabar, ini aku mau mandi lagi cari anduk. Andukku mana sih?!"

"Bu, handuk Keara di mana, Bu?" Bapak memanggil Ibu yang sibuk di dapur.

"MASA MANDI NGGAK PAKE ANDUK," aku mengoceh. Muter-muter ke tempat jemuran dan mengaduk-ngaduk keranjang baju yang habis dicuci hanya untuk mencari handuk. Kesal, kenapa handuk punyaku di saat begini nggak ada satupun.

"BU!" Aku memanggil ibu, kebiasaan seorang anak kalau barang di rumah hilang memang selalu Ibu yang jadi sasaran.

"BIMAAAAAAAA! ANDUK KARA MANA?!" sasaran kedua, pasti adikku, Bima.

"Kenapa sih, Kak?" Ibu datang masih dengan sodet kayu di tangannya. "Handuk itu di lemari lho, Kak. Dicari dulu, gitu," sambungnya sebelum aku menjawab.

"Kenapa di lemari sih? Biasanya juga digantung!" aku membela diri kenapa aku marah-marah.

"Baru disetrika, Kak. Kan tadi pagi dicuci," ibu membalas sabar.

Aku mencak-mencak ke kamar mandi.

"Bapak juga, Pak. Anaknya kalau baru pulang tuh nggak usah dibawelin gitu, Pak. Setannya dari luar banyak yang nempel itu, marah-marah terus jadinya," kata Ibu lagi. Mengundang Bima dan Mas Rumi tertawa dari ruang tengah. Mungkin kamu juga diam-diam ikut nyengir saat itu, Yo.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang