15 | Kemeja Biru Laut

102 15 0
                                    

15 | Kemeja Biru Laut

__________


AKU mengetuk pintu rumahmu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Sepulangnya kamu dari rumahku dengan keadaan tampak marah begitu, aku memilih mengalah untuk menemui dan menyelesaikan masalah secara langsung.

Aku menghela napas panjang begitu teringat saat itu hari minggu, kamu sepertinya tidak ada di rumah, Yo. Mungkin, pulang ke rumah Ibu.

Satu jam kemudian aku tiba di halaman rumah Ibu yang terlihat ramai itu. Aku enggan masuk tadinya, mungkin besok lagi aku datang. Tapi, Ibu kepalang sudah keluar rumah, terkejut melihatku. Ibu bilang, rumah tidak ada acara apa-apa. Sepupu-sepupu kamu saja yang kebetulan mampir pengen main.

"Bu, maaf ya soal kemarin. Keara langsung pulang," aku berkata pelan setelah menyapa, mengangguk sopan. Ibu hanya tersenyum, mengusap pundakku hangat. "Nggak apa-apa. Masmu emang itu kadang-kadang suka lupa kalau perempuan itu pencemburu. Kamu yang sabar ya, ingetin Masmu kalau dia buat salah."

Aku mengangguk, meskipun diam-diam aku kesulitan mencerna kalimat Ibu. Bagiku, opini Ibu tentang mengingatkanmu itu masih abu-abu. Selama ini, lebih sering aku yang bikin salah kan Mas?

"Iyo di dalam tuh lagi ngasuh, kamu masuk aja, Ra," ujar Ibu menunjuk ke dalam rumah.

Aku sering ke rumahmu, Mas, tapi entah kali ini rumahmu terasa lain. Mungkin karena aku datang tanpa sambutan darimu, atau entah karena apa. Kemungkinan lain, aku masih tidam terima Triane tiba-tiba datang kemari bersamamu.

"Om..., Om Iyo..., aku habis sholat." Seorang anak laki-laki datang menarik-narik ujung bajumu saat kamu sedang sibuk mengaduk wajan. Kamu menoleh, mengusap kepalanya lembut. "Oh pinter, Masyaallah," sahutmu sembari mengecup puncak kepala anak itu. Itu Sadam ya, Yo? Udah gede ya sekarang?

"Om Iyooo..." Suara nyaring anak perempuan lain menimpali. Kamu menoleh ke samping, melirik anak perempuan yang berjalan ke arahmu sambil minum air putih dengan kedua tangan.

"Eh eh stop, ade di situ aja. Jangan dekat-dekat Om, De, bahaya ada kompor. Itu kok minumnya gitu? Siapa yang ngajarin?" kamu menatap anak perempuan itu lamat-lamat.

"Adek, kata Om Iyo kalau minum kan duduk, jangan berdiri," Sadam—kakaknya mengingatkan. Yang ditegur cuma nyengir, buru-buru menjauh dan duduk di meja makan.

"Iya, Bang. Abang ingetin adek Ashia-nya dong," kamu kembali sibuk dengan wajan setelah memastikan mereka aman. Dengan posisi membelakangiku, aku melihat itu semua dari ambang pintu dapur. Kamu nggak sadar mungkin karena kerepotan sama anak-anak itu, membagi fokus pada masakan di atas kompor, dan menjaga anak-anak biar tidak terkena api atau melakukan hal-hal membahayakan.

Aku masih memperhatikan kamu, sebelum akhirnya mengerjap ketika kamu berbalik badan dan ikut terkejut begitu melihatku.

"Papa-able banget sih, Mas," aku menyapa, kamu nyengir, tertawa.

"Abang ingat nggak itu siapa?" kamu menoleh pada Sadam, Sadam tersenyum malu-malu.

Pada satu waktu, banyak hal yang kukagumi darimu, Mas. Salah satunya caramu mendidik anak-anak kecil. Sejauh ini aku bisa melihat kelebihanmu yang itu kalau sepupu-sepupumu main ke rumah. Aku senang banget lihat laki-laki yang bisa ngemong atau mengayomi. Seolah siapapun bisa bertumpu pada pundak kamu, dan merasa aman.

Aku salah satunya.

Dalam sekejap, semua yang kulewati terkilas balik dalam benakku. Teringat kamu yang selalu sabar setiap aku misuh-misuh karena kerjaan di kantor. Teringat kamu yang selalu bisa menenangkan aku. Teringat kamu yang tidak pernah menyerah membujukku dalam hal apapun.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang