23 | Surat dari Senja Kala

174 16 4
                                    

23 | Surat dari Senja Kala

__________


TEPAT saat sepanjang jalan pulang aku sibuk menyapa langit, sibuk mengenangmu, tepat aku baru saja mengikhlaskan apapun tentangmu, semua rasa itu berbalik seratus delapan puluh derajat begitu aku tiba di rumah.

Sore itu, matahari semakin turun, aku sampai di rumah dengan rasa lelah seperti biasanya. Bedanya, ada seorang laki-laki yang menungguku pulang di depan rumah. Enam bulan tidak bertemu, entah jantungku berdebar seperti apa saat aku melihatmu kembali ke hadapanku tanpa aba, seolah mencengkram sekujur tubuhku erat-erat.

Entah aku harus melakukan apa, tapi aku bahkan tidak mampu bergerak untuk beberapa saat. Hanya perutku yang mendadak terasa diaduk-aduk dan bola mataku yang bergerak menatapmu melangkah mendekat.

Kupikir, aku akan bisa bersikap biasa saja kalau bertemu denganmu lagi. Tapi setelah dihadapi dengan kenyataan sebenarnya, setelah kamu benar-benar ada di hadapanku, ternyata itu sulit, Mas.

"Keara?" suara itu membelai wajahku. "Kamu sehat, Ra?" tanyamu pelan. Dan saat suaramu terdengar, aku tersadar bahwa apa yang ada di hadapanku itu nyata.

Aku menelan liur, keingin-tahuan akan kedatanganmu kembali malah mencengkram suaraku dua kali lipatnya. Satu detik, dua detik, tiga detik.

Aku akhirnya tersenyum setelah dapat mengendalikan diri. Mengangguk untuk menjawab pertanyaanmu. "Sehat, Mas?" lalu menanyakan hal yang sama.

Kamu mengangguk.

"Mas ada apa kesini?" aku berkata serak.

Kamu tersenyum, "Habis dari Bapak sama Ibu, mau minta anaknya diserahkan ke aku buat masakin aku telur dadar seumur hidup," kalimat itu terlontar begitu saja. Lalu senyumanmu berubah menjadi tawa menyenangkan, tapi aku justru terpaku bagai disiram seember air es. Setelah enam bulan aku galau-galauan dan kamu seenaknya tertawa di depanku begitu?

"Kamu lagi ngerjain proyek apa, Mas?"

"Ya?" alisnya terangkat.

"Mas lagi ngerjain proyek apa sekarang? Gedung terbengkalai?" aku bertanya ragu. Kamu balas menatapku bingung.

"Mas kesambet?" dan pertanyaanku selanjutnya membuat senyummu merekah. Menatapku dengan tatapan yang tidak akan pernah bisa kulupakan, tatapan yang pernah kulihat saat kamu menatap Triane. 

Tatapan yang membuat sekujur tubuhku membeku untuk beberapa saat. Ya Tuhan, Mas akhirnya menatapku dengan tatapan itu.

Angin sore membelai kulit, membuatku menyadari apakah surat-surat yang selama ini kukirimkan pada langit akhirnya mendapatkan balasan?

Bagiku waktu sempurna terhenti, kita bersitatap di bawah langit oranye. Langit yang sejak di mobil berkali-kali kuharap untuk bisa disaksikan bersamamu. Sejauh apapun, kita memang selalu ada di bawah langit. Tapi tidak semua langit serupa kan, Mas? Dan sore itu harapanku terwujud, kita ada di bawah langit yang sama. Di langit oranye yang sama. 

"Habis maghrib, Mas mau bicara. Di kedai kopi biasa, boleh?" tanyamu lagi, merobek kecanggungan. Aku tidak tahu apa yang seharusnya kujawab. Separuh hatiku yang beberapa bulan sebelumnya sibuk menelikung, separuhnya lagi malah berharap semoga pembicaraan darimu memberi kabar yang menyenangkan. 

Karena hadirmu di hadapanku saat itu sungguh membuatku berharap kamu membawakan balasan surat dari senja kala yang akan kusimak baik-baik setiap baitnya. Aku memang pernah berpikir merelakan matahari terbenam adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Tapi aku lupa bahwa janji matahari tidak pernah teringkari.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang