19 | Keraguan Itu Nyata

104 14 0
                                    

19 | Keraguan Itu Nyata

__________


RASA sesak itu dengan cepat merambat bagai racun. Pikiranku tidak bisa dicegah refleks membayangkan kamu ke gunung bersamanya. Menatap langit malam yang kamu kagumi, bersamanya.

Sudah berapa banyak momen indah yang kamu lewati bersama Triane, Mas? Dibanding denganku, momen indahmu bersamaku mungkin hanya saat kamu memandang langit dari rooftop kedai kopi milik Deva. Itu pun kalau kamu beranggapan sama sepertiku.

Aku mengulum senyum dalam diam, dari segi apapun, dinilai secara objektif pun, aku kalah dari Triane. Telak. Aku paham sekarang kenapa sorot matamu saat memandangnya masih sangat bermakna, seolah sedang menggambarkan betapa bermaknanya pula kisah panjang yang sudah kamu lalui bersamanya.

Kehadiran Triane secara nyata di antara kita membuatku sesak, membuat perasaanku campur aduk. Dan ketika Triane pergi, aku mengembuskan napas. Tapi bukan napas lega. Sejenak, aku merutuk di dalam hati. Entah dari mana kamu bisa bertemu kembali dengan perempuan itu dalam satu proyek. Jakarta luas, kantor di Indonesia ini banyak, tapi kenapa kantormu harus bekerjasama dengan kantor Triane?

"Kenapa Mas pulang larut sampai jatuh?"

Dahimu mengerut dalam mendengar aku tiba-tiba bertanya.

"Keara...," kamu menyebut namaku seperti biasa. Nada yang biasanya bisa menghentikkan apapun yang akan kulakukan. Tapi entah untuk kali ini.

"Kenapa Mas harus bohong?"

"Keara...,"

"Mas? Aku mau pulang."

"Nggak. Dengerin Mas dulu." Tubuhmu tergerak maju, tanganmu membuka, ingin merengkuh tanganku.

Aku yang mundur. "Jadi bener?"

Kita terdiam. Kamu menatapku entah artinya apa. Aku menatapmu dengan penuh desakkan.

"Cuma Mas yang bisa antar dia pulang saat itu, Ra."

"Karena?"

"Ra. Udah. Kamu—"

"—Kenapa cuma Mas yang bisa antar dia pulang?" desakku lebih dalam.

Kamu tidak menjawab, hanya menghela napas, seolah menghadapi pertanyaan yang semua orang tahu jawabannya. Kedatangan Triane bagai api yang membakar senyum dan tawa kita sebelumnya, Mas. Menguap tanpa bekas. Berganti dengan ketegangan yang sunyi.

Aku tidak mengerti kenapa kamu tidak bisa menjawab itu. Pertanyaanku padahal sederhana kan?

Harusnya bisa kamu jawab dengan mudah. Kalau memang tidak ada apa-apa.

Kata orang, kita diuji dengan hal yang justru paling kita takutkan. Aku takut hidup bersama orang yang hatinya tidak ada bersamaku. Lalu kembalinya Triane di hidupmu membuat ujian itu terasa nyata sekarang.

Semua ini, tanpa bisa kucegah, pandanganku terasa panas oleh air mata yang berontak ingin bergulir turun. Aku menunduk, mengerjapkan mata. Dengan mata yang kian mengabur, aku hampir tidak bisa melihat apa-apa lagi.

Kecuali telingaku yang masih mendengar suaramu memanggil namaku dengan gelayut penyesalan.

"Ra...,"

Malam itu, kita tidak lagi membahas masalah yang selama ini ingin kita bahas. Kamu bahkan belum sanggup menjelaskan kenapa kamu harus ke Jogja.

Setelah Triane pergi, aku hanya minta pulang, dan kamu tidak punya kekuatan untuk menolak karena aku bahkan sudah kehilangan kata-kata untuk memaksa atau melawan.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang