10 | Rumah Nomor 17

113 17 2
                                    

10 | Rumah Nomor 17

__________


HARI yang suntuk berlalu, kamu bahkan tidak menanyakan aku sudah tiba di rumah atau belum setelah dari proyek. Sama sekali.

Bagaimana mau menanyakan kabar kalau kamu pasti marah sekali. Aku betulan menyesal, Yo, sudah merusak apapun yang kamu rencanakan itu. Tapi aku juga tidak bisa bohong kalau aku juga merasa lega, karena ulahku berhasil membuat kamu tidak pergi dengan Triane.

Keesokan harinya, kamu masih juga belum ada kabar. Aku masih bergeming, dan tak terlintas sama sekali untuk mengetik panjang-panjang lewat chat. Percuma.

Kamu tidak pernah suka menyelesaikan masalah lewat cara itu.

Dua hari kemudian, aku memaksakan diri menebalkan muka untuk bertemu kamu. Langsung.

Pagi-pagi, sebelum kerja, aku melipir sebentar ke rumahmu. Membawakan sarapan yang selalu kamu suka.

Nasi hangat, telur dadar campur daun bawang yang dimasak tidak terlalu matang, masih berwarna kuning tanpa ada warna cokelat sedikitpun. Dan satu toples kecil garlic oil. Semuanya favorit kamu, kan, Yo? Sarapan kamu memang sesederhana itu.

Lampu depan rumahmu masih menyala saat aku tiba. Pasti kamu masih tidur, mengisi energi untuk berangkat lagi siang harinya dan pulang ketika malam sudah larut.

Rumah nomor tujuh belas.

Aku ingat saat kamu mengajakku pertama kalinya ke rumah itu. Dengan rumah yang masih kosong, masih bau cat, dan baru diisi beberapa barang.

"Keara, kamu...mau nggak? Bantu Mas bersih-bersih?"

Kita bersih-bersih seharian. Aku yang menyarankan meja kerjamu disimpan di kamar utama, karena kamu suka kerja hingga larut, biar lebih mudah kalau mau langsung rebahan.

Aku yang menyarankan kamar kedua dialih fungsikan jadi ruang lemari pakaian seadanya, dan tempat kamu sholat. Supaya ruangan itu tidak kosong dan sering kamu masuki.

Satu rumah sederhana itu memang kebanyakan kamu minta saranku, warna sofa, warna dinding, warna pagar.

Mintamu cuma satu, lahan kosong di belakang.

Pagar rumah nomor tujuh belas itu masih terkunci begitu aku tiba. Tapi aku punya kuncinya, termasuk kunci pintu rumah kamu juga. Aku pernah tanya, kenapa kamu kasih kunci itu ke aku?

Kamu bilang, "aku kasih ke orang rumah dan kamu, biar kalau aku sakit minta bantuan kalian datang, aku jadi nggak perlu bangun dari kasur buat bukain pintu."

Aku juga pernah tanya, kamu nggak takut asetmu aku curi?

Kamu cuma tertawa. Lalu dengan suara lempengmu itu, kamu jawab, "Kamu mau curi apa? Aset berhargaku sudah kamu curi, Ra. Hati Mas sudah kamu ambil kan?"

Gombalannya ngeselin sih, basi, tapi kalau kamu yang bilang, tetap aja aku masem-masem.

Aku mengetuk pintu rumahmu, tiga puluh detik, tidak juga ada jawaban. Meskipun aku punya kewenangan itu, aku tetap mengetuk pintu, memastikan kamu mempersilakan aku masuk. Kan nggak lucu kalau aku main masuk, ternyata di dalam kamu lagi keluyuran pakai handuk doang habis mandi.

"Yoo?" aku mengetuk lagi.

Tak lama, barulah suara berat terdengar parau dari dalam sana. "Ya..., masuk, Ra."

Mendengar suara yang terdengar berbeda, aku cepat-cepat masuk ke rumahmu, mencarimu di ruang tidur dengan harap-harap cemas. Pintu kamarmu yang setengah terbuka membuatku tidak sabaran membuka pintu lebih lebar.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang