24 | Bulan Sabit di Langit Jogja
__________
Di bab ini, boleh dong bacanya sambil dengerin lagu Payung Teduhnyaaaa ;)))
___
DUA tahun kita bersama-sama. Memang baru sebentar dibanding waktumu bersama Triane, tapi bagaimanalah kalau hari-hari itu selalu diisi dengan momen yang hebat?
Setelah kamu kembali, kamu menunaikan janjimu untuk membawaku ke proyekmu di Jogja untuk menaiki gedung yang sedang kamu kerjakan. Aku mulai mengenali kehidupanmu di proyek lebih dalam lagi, sama sepertimu yang mengenali bagaimana pekerjaanku karena kamu yang selalu menjadi tempatku berkeluh-kesah tentang apapun yang terjadi di kantor.
Kamu mengenggam tanganku erat sepanjang menaiki undakan tangga hingga di puncak demi melihat langit Jogja, membimbing langkahku mendekati tempat yang kamu tuju.
Begitu kita persis berada di atasnya, kita duduk di atas lantai semen. Menyaksikan langit yang bagimu terasa begitu dekat.
"Dekat apanya? Bagiku langit tetap jauh Mas. Langit yang dekat itu bagiku cuma satu."
Kamu menatapku bingung. Aku cuma nyengir tapi tidak menjawab pertanyaanmu. Dan kamu cukup mengerti, menggeleng samar begitu menyadari aku sedang menggodamu.
"Mas sama indahnya kaya langit kok. Serem kalau kelabu. Menawan kalau tersipu," aku berkata iseng. Kamu menatapku dengan senyum tipis dan tatapan mengancam. "Langit kalau tersipu ada semburat-semburat kemerahan gitu kan? Kaya Mas. Indah banget." Aku menggoda lagi, mengabaikan tatapanmu itu karena aku ingin membuat wajahmu memerah, dan kamu sungguhan tersipu.
Aku nyengir penuh kemenangan.
"Awas ya!" desismu masih dengan senyuman merekah. Mengakui kekalahan.
"Aku nggak tahu harus sedih atau nggak pembangunan gedung itu sempat gagal, Mas. Jadinya cuma lima lantai kan? Nggak kebayang kalau kamu tega ajak aku naik gedung sebelas lantai beneran."
Kamu terkekeh, mendengakkan wajah ke atap bumi. Beberapa saat kemudian kamu menghela napas panjang sebelum berbicara. Seolah ada hal yang sedang kamu pikirkan. Lalu, kalimat itu meluncur begitu saja. "Ra, jadi mau kan?"
Aku menatapmu tidak mengerti. "Mau apanya?"
"Bikinin Mas telur dadar seumur hidup," kamu menahan tawa. Melihat sikapmu, aku mengerti apa yang kamu maksud. Tapi kalimat itu bagiku belum bermakna apa-apa.
"Yang bener," kataku sambil memiringkan kepala sedikit, memintamu untuk mengoreksi tindakanmu. "Itu bukan pertanyaan mengejutkan, Mas," protesku lagi. Kamu tertawa.
Hening lagi. Kamu mungkin sedang berusaha mengendalikan diri. "Mau ya, Ra?"
"Apa?" separuh hatiku sudah nyaris berseru riang memikirkan kemungkinan itu. Tapi kalimat selanjutnya mematahkan semangatku.
"Kamu tuh udah ngerti ya! Harus banget diperjelas." Kamu meringis, mengusap tengkuk.
Aku melenguh dalam hati, masih menatapmu lamat-lamat, menanti tidak sabaran.
"Kamu..," dia berpaling dari mataku, melepas pandangan ke arah hamparan awan di langit Jogja.
Jantungku semakin berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori dalam Kata [Completed]
RomanceSebuah keputusan sulit untuk memilih bertahan pada hati yang bukan miliknya, atau melepas apa yang sudah digenggamnya. Tentang Keara, yang mencintai tanpa percaya.