02 | Langit Malam

181 22 2
                                    

01 | Langit Malam

__________


MALAM itu, kamu akhirnya menghentikan mobil di salah satu halaman ruko di jalan protokol. Dahiku mengernyit begitu mobil menepi. Tidak ada makanan apa-apa di sana, yang ada hanya studio foto, kedai kopi, barber shop dan salon wanita.

"Kamu mau potong rambut, Mas?"

Kamu menggeleng. "Teman kantorku baru buka cabang kedai kopi di sini. Tuh, punya Deva. Aku pernah janji mau mampir. Jadi, sekarang kayanya pas. Pas ada kamu juga, biar aku nggak digodain sama perempuan-perempuan di sana." Kamu mengerling.

Deva langsung menyambut riang ketika kamu membuka pintu. Bunyi lonceng tanda ada pelanggan sontak membuat Deva mengangkat kepala. Senyumannya merekah saat melihat siapa yang datang.

"Jio sama Dean baru aja pulang. Baru banget. Belum ada sepuluh menit," katanya setelah bersalaman denganmu. 

Deva tersenyum begitu sadar kamu datang bersamaku. Aku tidak mengenal Deva, malam itu pertama kalinya aku bertemu dengannya, dan pertama kalinya kamu kenalkan Deva.

"Oh ini yang namanya Keara. Kali-kali main ke kantor dong, Ra." Deva tersenyum lebar saat kamu mengenalkan aku.

"Ayo ayo, mau duduk di mana? Di lantai atas juga boleh, masih ada yang kosong." Deva bertanya riang. 

"Gue di sini aja nih dekat Bar, biar bisa nyuruh-nyuruh lo tuangin kopi ke gelas gue. Pasti gue bakal refill berkali-kali." Kamu menarik tempat duduk di dekat meja counter, mempersilakan aku duduk.

"Bisa aja lo," tawanya. 

Kamu jadi sibuk mengobrol dengan Deva, dan beberapa kali meninggalkan aku untuk lihat pembuatan kopi di balik meja. Aku juga sempat kamu ajak, tapi aku menolak.

Tak lama, aku melihatmu naik ke lantai atas bersama Deva. Rupanya kamu sadar kalau aku lihat kamu mau naik ke atas. Kamu langsung buru-buru nyengir sambil menunjukkan telapak tangan, "sebentar," maksudnya, sebelum akhirnya kamu menghilang di balik tangga.

Aku mengangguk. Mencicipi minuman yang baru datang saat kamu pergi.

"Hei," lima menit kemudian kamu datang dengan senyuman merekah. Hujan di luar sana semakin tidak terkendali. Bunyi guntur sesekali terdengar. Aku menarik pandanganku dari jendela saat kamu kembali.

"Ikut aku yuk?" ajakmu sambil mengulurkan tangan. Aku mengerutkan dahi, "Kemana?"

"Ayo." Belum menjawab pertanyaanku, kamu sudah lebih dulu menarik tanganku. 

Deva di sudut ruangan tampak sedang melayani pengunjung. Lonceng di pintu masuk terdengar beberapa kali. Hujan membuat kedai kopi milik Deva terlihat semakin ramai.

Malam itu, kamu mengajakku ke lantai tiga. 

Kulihat, lantai dua terlihat lengang, hanya ada tiga meja yang terisi. Aku tidak banyak bertanya saat kamu mengajakku menaiki tangga lagi. Lalu begitu kamu membuka pintu lantai tiga, aku terkesiap. 

Ada banyak gazebo kayu di sana.

Ternyata malam itu kamu membawaku ke rooftop kedai kopi milik Deva, Yo. Suara air hujan langsung terdengar jelas di telingaku saat kamu membuka pintu, samar suara klakson kendaraan bersahut-sahutan juga terdengar.

Lampu-lampu taman berbentuk bulat menyala dengan warna kuning hangat. Daun-daun tanaman penghias tampak merunduk dirajam hujan. 

Aku penasaran bagaimana rasanya diterpa hujan deras seperti daun itu. Tapi kamu pasti mendiamkan aku kalau aku nekat hujan-hujanan. Selama ini, kalau aku hujan-hujanan, kamu nggak pernah marah. Kamu bilang, "ngapain udah gede harus dimarahin karena hujan-hujanan." 

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang