Pertemuan kami yang kedua membawa dampak sangat besar bagiku.
Pertama, aku berhasil mengetahui siapa namanya. Eren Jeager. Eren. E-ren. Nama sederhana yang sanggup membuat lidahku mati rasa hanya dengan menyebutnya.
Kedua, aku tidak bisa melupakan bagaimana manisnya feromon yang menguar dari tubuh tinggi tersebut. Aromanya sangat memabukkan. Aku ingat tubuhku terasa seperti terbakar saat feromon itu tercium. Entah mengapa, aromanya sangat berbeda.
Ketiga, Eren sanggup mengenaliku sebagai alphanya. Ini adalah satu hal paling krusial yang selalu memenuhi kepalaku selama sepekan berlalu. Aku tahu. Kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Selama ini, aku hanya pernah mendengar seorang alpha yang mampu mengenali siapa pasangan jiwanya. Bukan sebaliknya. Dan mengetahui Eren menyadari bahwa kami terikat sebagai pasangan jiwa benar-benar membuat insting alphaku dipenuhi oleh rasa bangga.
Pada akhirnya, aku harus mengakui bahwa takdir Tuhan berhasil mempertemukan kami.
Semula aku enggan untuk memikirkan hal ini. Entahlah, memikirkan memiliki pasangan jiwa terasa berat. Benang di antara alpha dan omega yang ditakdirkan menjadi pasangan jiwa tidak hanya berwarna merah, tetapi juga sangat tebal. Tidak ada yang bisa memisahkan garis tersebut. Kecuali kematian. Pun, alpha atau omega yang ditinggal mati oleh pasangan jiwanya akan merasakan rasa sakit yang luar biasa.
Hal inilah yang membuatku berpikir beberapa kali. Meski menghindari takdir pun tidak akan bisa karena jika satu kali saja alpha dan omega yang terikat benang merah itu bertemu, maka mereka akan terkurung di dalam labirin ciptaan Tuhan.
Jadi, percuma saja menghindar. Takdir tidak akan pernah berhenti bekerja untuk mempertemukan kami.
Ada hal lain yang membuatku berpikir selama satu minggu ini. Mengenai Eren dan pengakuannya.
Aku masih ingat setiap detail perkataannya. (Ya, ini sangat aneh dan membuktikan bahwa jiwa kami terikat begitu kuat—bangsat). Bahkan aku ingat ekspresi wajahnya yang dipenuhi oleh kesedihan dan... entahlah, amarah?
Aku... aku bukan omega.
Berbagai pertanyaan berputar di dalam kepala ketika kalimat itu kembali terulang. Mengapa Eren berbohong? Mengapa ia tidak mengakui dirinya sebagai omega? Apa yang membuatnya melakukan hal itu meski insting omeganya menjerit kepadaku dengan sangat jelas?
Setidaknya, usai pertemuan kami yang kedua, aku menyadari bahwa hubungan ini tidak akan mudah.
Hanya mengetahui namanya saja ternyata tidaklah memuaskan. Aku tidak bisa menepis rasa penasaran yang semakin membesar. Ingin lebih mengetahui siapa sebenarnya pemuda tinggi tersebut.
Satu minggu berusaha menahan rasa penasaran, pada akhirnya aku menyerah.
"Maaf, Levi-san... bisa tolong ulangi sekali lagi?"
Rico—asistenku—berkedip beberapa kali. Jemarinya berhenti menari di atas keyboard. Seluruh perhatian tertuju padaku.
"Cari informasi mengenai Eren Jeager."
"... Baiklah." Rico mengangguk pelan. Kening mengerut. Ekspresi wajahnya terlihat seperti ingin menanyakan sesuatu, tetapi ia tahan sedemikian rupa. Sampai ia membuka mulut, tidak kuasa menahan diri. "Apakah ini darurat...?"
Ada jeda di antara pertanyaan tersebut. Aku hanya mengangguk. Sudah bersiap untuk kembali ke dalam ruangan kerja. "Kirimkan detailnya ke email pribadiku."
Suara Rico terdengar sebelum pintu ruangan tertutup. Sejenak aku hanya diam, bersandar pada pintu sembari menutup mata. Bayangan mata hijau itu kembali muncul. Kali ini, aku tidak menolak. Membiarkan bayang-bayang tersebut menghantui isi kepala yang sangat berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet [Rivaere]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Alpha dan Omega. Aku dan Dia. Ini adalah kisah kami, awal perjumpaan. Sebuah permulaan. Kisah yang membawa sebuah kebahagiaan. . . . Omegaverse AU. Rate T+. Romance. Drama. Age Gap. Slow burn. Levi x Eren. Top! Levi x Bottom! E...