3. Reason

3.5K 546 159
                                    

Waktu berlalu sangat lambat. Aku dapat melihat pupil berwarna hijau itu melebar, dipenuhi oleh kegelisahan yang kembali menyeruak. Dengkuran manis yang terdengar, kini menghilang tak tersisa. Napas Eren sangat berat. Seolah pertanyaanku sanggup membuat paru-parunya berhenti bekerja.

Dorongan insting alpha untuk mencumbunya harus kutelan bulat-bulat, karena kini, Eren terlihat sangat tidak nyaman.

Untuk pertama kalinya, feromonku tak mampu menembus pertahanan dirinya yang tiba-tiba muncul. Tubuh tinggi menjauh beberapa langkah. Jarak di antara kami membuat dadaku terasa sakit. Dan semakin bertambah ketika ekspresi wajah pemuda itu terlihat... tersakiti.

"Eren?"

Kepala bersurai cokelat menggeleng pelan. Sebuah awal dari penolakan yang—di luar dugaan—tak sanggup kuterima dengan lapang dada.

"Tidak," ujarnya dengan suara sengau. "Aku... tidak ingin menjadi mate siapa pun."

Mendengar penolakan secara langsung ternyata sungguh menyakitkan. Aku terdiam. Memandang tubuh tinggi yang kini bergerak gelisah. Ada keraguan yang tercium dari feromonnya, tapi aku tak peduli karena sakit sekali melihat kondisinya seperti itu hanya karena sebuah pertanyaan sederhana.

"Baiklah. Aku mengerti."

Aku bisa melihatnya menegang. Perlahan, ia mengangkat wajah. Membiarkanku mengamati mata hijau yang berkaca-kaca. Bibir merah muda membentuk senyum remeh. Lalu ia kembali menggeleng. "Tidak... kau tidak mengerti."

"Kalau begitu buatlah aku mengerti."

"Tidak bisa," elaknya dengan nada frustasi. "Tidak semudah itu."

"Jelaskan perlahan padaku. Aku tidak keberatan untuk menunggu." Eren kembali menunduk. Dua tangan kini menggenggam sisi celana dengan kuat. Bahkan buku-buku jarinya sampai memutih. Aku menghela napas panjang. Tak kuasa melihat pasangan jiwaku berada di situasi tersudut. "Eren. Aku tahu insting omega itu menyuruhmu untuk tunduk padaku. Aku tahu, karena aku ingin sekali membuatmu menyerahkan diri seutuhnya untukku. Hal yang wajar jika kau berusaha menolak semua itu dan—

"Levi-san," potongnya pelan. Suara bariton khas remaja itu terdengar sedikit bergetar. Aku menahan napas ketika Eren mengangkat wajah. Membuatku mampu melihat secara jelas bagaimana lelehan air mata itu membasahi pipi.

"Eren—

"Aku bukan omega." Pantulan mata hijau itu mengekspresikan rasa sakit yang sanggup menembus jantungku. "Aku... bukan omega. Aku tidak ingin menjadi omega. Kumohon... beri aku waktu untuk memikirkan semua ini."

Sejenak, aku hanya diam.

Berdiri seperti orang bodoh dengan dada berdenyut menyakitkan. Sampai akhirnya aku menunduk. Memutuskan pandangan yang begitu menguras emosi. Aku mengangguk pelan.

"Ya," ujarku lirih. "Baiklah."

Malam dingin membuat permukaan kulit bergetar. Gunther kembali beberapa menit kemudian. Wajahnya terlihat bingung ketika aku berjalan lurus tanpa mempedulikan sapaan Petra. Aku bisa merasakan seluruh otot wajah menegang. Mengeras hingga rasanya seperti kram.

Perjalanan menuju apartemen terasa sangat lama. Pikiranku melayang tidak tentu arah. Melewatkan satu email yang kutunggu seharian.

●●●

Dua hari berlalu begitu saja.

Semua pekerjaan kini dapat kuatasi lebih baik dibanding sebelumnya. Erd tampak terkejut, tapi tidak berkomentar banyak. Kami sibuk mempersiapkan naskah yang akan diterbitkan pada akhir bulan. Pun, naskah untuk bulan depan juga harus dipersiapkan dengan matang.

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang