Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menemukan jalan yang terbaik. Butuh dorongan dari orang-orang terdekat agar aku berani untuk memilih jalan tersebut. Aku tahu, melupakan dan menutup masa lalu bukanlah hal yang mudah. Armin atau Ibu juga tidak menuntutku untuk melupakan Frieda. Namun, bukan berarti aku harus terus berdiam di tempat, mengutuk semua perbuatan 'mereka' terhadap Frieda.
Jangan tolak kebahagiaanmu, Eren. Kau pantas untuk bahagia.
Kalimat tersebut masih terus berputar di dalam kepala hingga sekarang. Seolah menjadi patokan bagiku untuk terus melangkah, mencari kebahagiaan yang mungkin selama ini sudah ada di depan mata tapi tidak kupedulikan.
Jujur, mimpi aneh yang terjadi pada saat itu terasa sangat... tidak masuk akal. Rasanya tidak mungkin bila sosok Eren yang kutemui di sana adalah sisi omega di dalam tubuhku. Entahlah... sosok tersebut meski memiliki wajah dan suara yang sama sepertiku, tapi aura di sekitarnya sangatlah berbeda. Ia terlihat... lebih dewasa.
"Mungkin itu adalah sisi lain di dalam tubuh yang sudah terlalu gemas berdiam diri melihat sikapmu yang bodoh," jelas Armin suatu hari ketika aku bertanya kepadanya.
"Aku tidak bodoh."
Armin memutar mata lelah meski tidak mengalihkan pandangan dari tumpukan tugas. "Ya, ya. Kau tidak bodoh. Hanya sedikit salah memilih keputusan yang tidak mungkin terpikirkan oleh orang-orang pintar."
Sialan. Sebuah kebenaran pahit yang membuatku tidak mampu untuk mengelak lagi.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, Eren," lanjutnya setelah puas menyentil perbuatanku di masa lalu. "Siapa pun dia, baik sisi omegamu atau bukan, tidak bisa dipungkiri bahwa kehadirannya menjadi dorongan besar di mimpimu. Jika ia tidak muncul, mungkin kau masih menjadi Eren Jeager yang keras kepala dan menganggap semua keputusannya adalah sebuah kebenaran."
Armin benar.
Jika sosok itu tidak muncul bersama dengan Frieda, mungkin aku masih berdiam di tempat. Tidak bergerak untuk menggapai kebahagiaan yang menjauh. Tidak berusaha untuk membuka diri kepada Levi.
Bicara mengenai Levi, setelah berbincang dengan Ibu beberapa hari yang lalu, masih belum ada kabar dari pria tersebut. Tidak ada panggilan telepon atau pesan masuk. Sesuatu yang membuatku berpikir; apakah aku sudah terlambat?
Di sisi lain, Armin sudah jarang pergi keluar lagi. Tiga hari berlalu sejak terakhir kali ia pamit pergi untuk rapat komite—kebohongan yang masih ia gunakan hingga detik terakhir. Sebuah tanda bahwa apa pun urusannya sudah terselesaikan dengan baik.
Lalu kini, pemuda pirang tersebut sedang sibuk membujukku untuk menghubungi Levi terlebih dahulu.
"Sampai kapan kau mau menunggu, Eren?"
Adalah pertanyaan yang kerap ia utarakan ketika aku sibuk mengecek ponsel, berharap muncul notifikasi dengan nama pria tersebut. Dan seperti biasa, aku hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Jika kau diam seperti ini, bagaimana Levi-san tahu kalau kau tertarik dengannya?"
Armin benar. Armin selalu benar. Namun, aku merasa gelisah. Kepala dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Bagaimana jika Levi sudah tidak tertarik? Bagaimana bila ia ternyata sudah lelah menungguku? Atau bagaimana jika ia sudah menemukan omega yang lebih menarik?
Memang pemikiran yang bodoh, tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Pikiran tersebut muncul begitu saja, bersaman dengan rasa bersalah karena sebelumnya telah mengambil keputusan yang salah.
"Dan kau ingin mengulangi hal yang sama?"
Aku terdiam. Kami sedang makan siang di atap sekolah. Beruntung Jean dan yang lainnya belum datang karena masih mengantre di kantin. Wajah Armin terlihat serius ketika aku menoleh.

KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet [Rivaere]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Alpha dan Omega. Aku dan Dia. Ini adalah kisah kami, awal perjumpaan. Sebuah permulaan. Kisah yang membawa sebuah kebahagiaan. . . . Omegaverse AU. Rate T+. Romance. Drama. Age Gap. Slow burn. Levi x Eren. Top! Levi x Bottom! E...