14. Despair

1.8K 293 48
                                    

Aku merasa seperti menghilang dari kehidupan. Tidak ada suara apa pun yang terdengar. Pun, semua yang terlihat bagaikan bayangan kabur yang tidak jelas. Aku menoleh ke samping, menatap dua teman sejawat yang kini terlibat obrolan. Sepasang mata hitam Mikasa melirik ke arahku berkali-kali. Seolah ingin memastikan bahwa kondisiku baik-baik saja. Sementara Armin sedang mengucapkan sesuatu, mungkin menjelaskan situasi yang terjadi.

Beberapa menit kemudian mereka terdiam. Mikasa adalah orang pertama yang melangkah terlebih dahulu. Ia menoleh dan memberitahu sesuatu yang tidak dapat kudengar. Armin menggenggam tanganku, membimbing untuk melangkah pelan.

Aku tidak percaya.

Sebuah fakta yang baru saja aku ketahui, terasa seperti mimpi.

Bagaimana bisa dia tidak memberitahuku apa pun? Bukankah aku berhak mengetahui siapa dia yang sebenarnya?

Langkah Mikasa berhenti di depan sebuah restoran. Aku sempat mengerutkan kening, mendadak lupa dengan tujuan kami pergi bersama. Pintu restoran terbuka dengan suara klining pelan yang berhasil membuat kesadaranku perlahan kembali. Mikasa masuk terlebih dahulu sembari memegangi pintu, memberikan akses kepadaku dan Armin.

Aroma makanan yang sedap membuat perut berbunyi pelan. Armin masih menggenggam tanganku, erat. Seolah tidak ingin meninggalkanku barang sejenak. Kami melangkah semakin masuk ke dalam restoran. Hingga aroma khas yang familier itu tercium.

Langkah kakiku terhenti begitu saja. Armin sampai harus menoleh dan menatapku dengan kening mengerut, bingung. Aku hanya bisa diam, mengendus udara untuk mencari aroma tersebut.

Lalu, di sanalah sosok yang sempat menjadi pembicaraan kami.

Sosok yang sudah tiga minggu ini aku jauhi.

Ia berdiri dan memandangku dengan mata hitam yang lebar. Tanda bahwa ia pun juga merasa terkejut dengan pertemuan dadakan ini. Armin memanggil beberapa kali, tapi aku tetap diam. Sampai ucapan Mikasa kembali berputar di kepala.

Levi Ackerman adalah sepupuku.

Tanpa sadar aku mundur satu langkah, membuat aroma feromonku mulai dipenuhi oleh rasa tidak nyaman. Genggaman Armin semakin erat. Sementara Mikasa sudah maju satu langkah. Feromon alpha miliknya tercium sedikit lebih kuat, bersamaan dengan geraman lirih.

"Mundur, Levi," ucapnya.

Aku melirik Mikasa dengan kening mengerut bingung, merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan. Insting omega yang sedang menjerit tampak tidak senang dengan ucapannya.

Dia adalah alphaku! Mengapa kau menyuruhnya mundur?!

Pria alpha berjalan mendekat. Aroma dominasi tercium sangat jelas. Tidak ingin kalah dengan feromon alpha milik Mikasa. Jarak sudah sangat dekat, ia berhenti beberapa langkah dari gadis tersebut. "Mikasa," ujarnya dengan suara bariton tebal, sedikit menggeram.

"Kubilang mundur."

Mikasa kembali maju. Tangan kiri masih terbentang, berusaha untuk memberikan jarak antara aku dan dia. Merasa tidak nyaman dengan dua feromon alpha yang berusaha untuk saling mendominasi, aku semakin merapat pada Armin. Ingin mencari perlindungan.

Seolah tidak mengerti dengan gertakan Mikasa, pria itu maju dua langkah. Aroma feromonnya tercium semakin pekat, dipenuhi oleh amarah. "Dan mengapa aku harus menurutimu?"

Lalu tubuhku bergetar hebat. Tidak sanggup merasakan dominasi seorang alpha yang begitu kuat. Armin segera menahan tubuhku ketika kaki semakin lemas. Sayup, aku bisa mendengar rintihan di dalam restoran. Tampaknya ada beberapa omega yang juga terkena efek feromon tersebut.

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang