"Aku tidak percaya kau sudah menceritakan masalah ini kepada Farlan terlebih dahulu."
Aku hanya bisa diam. Menatap Hanji tanpa minat. Terhitung sudah satu minggu lebih semenjak peristiwa di mobil berlalu. Rasanya masih enggan, tapi mau tidak mau aku harus tetap bercerita kepada tiga cecunguk yang kini sudah duduk rapi.
Di samping Hanji, Farlan tersenyum bangga. Ia mengusap poni perlahan. Dan sebelum sempat berpose lebih banyak lagi, ia mengaduh ketika sikut tajam menyodok sisi pinggangnya cukup keras.
"Bangsat," umpatnya menahan ngilu sembari menatap Hanji galak. "Iri bilang bos!"
Dengkusan terdengar sebagai balasan. Mata cokelat kembali tertuju padaku. "Jadi...?"
"Apa?"
Hanji mendecak. Mengusap wajahnya dengan kasar. "Demi Tuhan, Kutu Loncat. Jelaskan pada kami kenapa kau menceritakan masalah seserius ini kepada Farlan? Bukankah kami sahabatmu?"
Aku mengangkat bahu. Sungguh tidak peduli dengan tantrum yang biasa terjadi kepada Hanji. Memang apa bedanya bercerita pada Farlan dan mereka? Inti cerita akan tetap sama.
"Secara teknis Farlan dan Isabel adalah teman pertamaku."
"Sahabat," koreksi Farlan. Senyum bangga kembali terlihat di wajahnya. Membuatku memutar mata, lelah.
"Ya. Terserah."
Lalu Hanji semakin menjadi. Ia menggebrak meja cukup keras. Menarik beberapa pengunjung. Bahkan Farlan sampai harus berdiri dan membungkuk kepada mereka sebagai permintaan maaf.
"Apa kau gila? Jangan membuat pelangganku pergi, Zoe!"
Wanita itu tidak mendengar sama sekali karena hal berikutnya yang ia lakukan adalah kembali menggebrak meja. Kepala menoleh ke arah Farlan. Pandangan penuh tantangan. "Oh, yeah? Aku tidak peduli dengan pelangganmu, Church."
"Hei, sudah, sudah," ujar Mike berusaha menengahi. "Hak Levi ingin bercerita kepada siapa."
"Tidak bisa begitu dong, Mike! Kita 'kan sahabat kental."
Aku mendengkus sinis. "Sahabat kental?"
Tatapan Hanji kini tertuju padaku. Begitu tajam. Seolah benar-benar tersinggung dengan reaksiku. Meski kami semua tahu jika ia berusaha membesar-besarkan masalah.
"Ya. Sekental manimu yang tidak pernah keluar lagi semenjak insiden pasangan jiwa ini."
Kasar, tapi itu memang benar.
Setidaknya sampai detik ini aku belum menyentuh siapa pun. Usai bertemu dengan Eren, entah mengapa, seluruh alpha dan beta di luar sana terlihat tidak menarik sama sekali.
"Jadi... dia benar-benar pasangan jiwamu?"
Kini Erwin bergabung di tengah pembicaraan. Mata biru itu menatapku lurus. Sama seperti biasanya.
Aku mengangguk pelan. "Ya."
"Bagaimana kau bisa yakin kalau sudah menemukan pasangan jiwa?" Farlan kembali mengalihkan perhatian. Ia mengangkat bahu. "Aku beta dan tidak mungkin mengalami masalah seperti ini."
"Aku pun belum merasakannya, Farlan. Tapi kudengar tubuh akan terasa panas dan kau akan tahu begitu saja."
Jawaban Erwin memang benar. Tubuh akan terasa panas. Rasanya seperti terbakar. Selebihnya aku sendiri tidak terlalu paham. Aku hanya merasa jika Eren adalah orang yang tepat. Seolah ia seseorang yang selama ini kucari.
"Levi?"
Aku berkedip beberapa kali. Tersadar dari isi kepala dan menatap empat pasang mata yang memandang penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet [Rivaere]
Fanfiction[BL] [BOY X BOY] Alpha dan Omega. Aku dan Dia. Ini adalah kisah kami, awal perjumpaan. Sebuah permulaan. Kisah yang membawa sebuah kebahagiaan. . . . Omegaverse AU. Rate T+. Romance. Drama. Age Gap. Slow burn. Levi x Eren. Top! Levi x Bottom! E...