Sudah satu minggu lebih semenjak kejadian di restoran berlalu. Semakin hari perasaanku justru tidak menentu. Hal yang aneh karena akulah yang membuat situasi ini terjadi. Namun, aku tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang membuat perasaan menjadi jauh dari kata nyaman.
Ada sesuatu yang... hilang.
Armin menjadi lebih banyak diam. Hal yang cukup mengejutkan karena biasanya ia tidak akan sungkan untuk mengungkapkan apa yang sedang dirasakan. Kali ini, ia memilih untuk tidak berkomentar. Meski perhatiannya tetap seperti biasa karena aku memang menjadi lebih tidak peduli dengan kondisi tubuh sendiri.
Selama satu minggu lebih ini, nafsu makanku juga semakin memburuk. Mikasa sampai harus turun tangan. Beberapa kali ia akan membawa bekal makan siang untukku dengan isi yang sangat banyak.
"Perbaikan gizi untukmu," katanya suatu hari di tengah jam makan siang.
Tentu aku menolak dengan alasan tidak lapar. Ia terdiam sejenak sebelum meminta Jean dan Reiner memegangi tubuhku, sementara mulai menyodorkan makanan ke mulut. Beberapa pasang mata memandang penasaran. Rasa malu diperlakukan seperti anak kecil akhirnya membuatku menyerah. Bekal makan siang segera kusantap. Meski tidak sampai habis, raut wajah gadis alpha itu tetap terlihat puas.
Paksaan secara langsung dari Mikasa nyatanya tidak terlalu membantu. Aku tetap tidak makan selama di asrama. Armin bahkan mulai lelah membujuk meski terus membawakan makan malam ke kamar. Berharap aku akan berubah pikiran dan kembali mengisi perut seperti orang normal pada umumnya.
Sayang, keinginanku untuk memperbaiki diri rasanya tidak ada sama sekali.
●●●
Perubahan suasana hati selama beberapa hari ternyata mulai menimbulkan tanda tanya bagi teman-teman. Banyak dari mereka penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku hanya diam, membiarkan Armin memberikan jawaban palsu untuk menutup semua pertanyaan yang ada di dalam kepala mereka.
"Mungkin efek dari heat kemarin," ujarnya sembari memberikan senyum kecil.
Sebuah jawaban yang sangat tidak memuaskan. Aku tahu. Namun, mereka hanya diam, mengangguk paham untuk menghormati keputusan kami yang memilih menutup mulut.
Status omegaku memang bukan menjadi rahasia lagi. Bagaimana pun juga, seluruh murid Akademi Mitras mampu mengendus aroma feromon tubuhku yang berbeda. Beberapa teman dekat tampak terkejut, terutama Jean. Dahulu ia selalu mencibirku sebagai beta, menyebutku manusia biasa dan tidak ada sesuatu yang membuat hidupku lebih berwarna, katanya. Sebuah cibiran yang wajar karena ia seorang alpha. Pun, membuat rasa benciku padanya memiliki alasan yang kuat.
Kini, setelah ia mengetahui bahwa aku adalah seorang omega, cibiran itu menghilang. Aku ingat melihat perbedaan raut wajahnya ketika kami bertemu usai heat pertama.
Wajah mirip kuda itu terlihat bersemu. Hidungnya tidak berhenti menghirup udara, seolah ingin mereguk feromon yang keluar dari tubuhku. Respon dari para alpha lain di kelasku juga sama. Sadar atau tidak, mereka menunjukkan gestur dan ekspresi tertarik.
"Makanlah, Jeager."
Cibiran menyebalkan Jean mungkin memang hilang, tapi tidak menutup reaksi berbeda yang mulai muncul. Ia menjadi... posesif. Sesuatu yang sangat membingungkan. Aroma feromon alphanya tidak dapat menutupi rasa khawatir meski wajahnya terlihat datar dan tidak peduli.
Aku hanya diam, menatap lurus figurnya yang sangat berbeda dengan Levi. Jean memiliki tubuh yang tinggi, lebih tinggi dariku. Meski wajahnya mirip kuda, tapi aku akui ia memang tampan. Jika saja mulut itu tidak mengeluarkan banyak kata-kata menyebalkan, ia akan menjadi alpha yang menarik.

KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet [Rivaere]
Fanfic[BL] [BOY X BOY] Alpha dan Omega. Aku dan Dia. Ini adalah kisah kami, awal perjumpaan. Sebuah permulaan. Kisah yang membawa sebuah kebahagiaan. . . . Omegaverse AU. Rate T+. Romance. Drama. Age Gap. Slow burn. Levi x Eren. Top! Levi x Bottom! E...